Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label selatan

Kekuasaan sebagai Pertemuan: Dunia Muslim dan Rekonstruksi Makna Kuasa Yang Manusiawi

“The Muslim world is not a monolith, but it is a mosaic of possibilities.” — Shadi Hamid , Brookings Institution MENJUAL HARAPAN - Dalam lanskap geopolitik yang tengah mengalami pergeseran, dunia Muslim tidak lagi hanya menjadi medan konflik atau objek intervensi, melainkan mulai tampil sebagai subjek sejarah yang aktif dan reflektif. Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Jeddah, misalnya, bukan hanya diplomasi bilateral, tetapi juga bagian dari narasi baru: bahwa dunia Muslim sedang menata ulang dirinya sebagai kekuatan moral, ekonomi, dan epistemik. “Dunia Islam harus membaca peluang geopolitik baru: saat Barat melemah dan Timur menguat. Persatuan adalah kunci.” — Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI), 2025  (liat; HILMI: Dunia Islam Harus Membaca Peluang Geopolitik Baru ). Kebangkitan ini tidak datang dari ruang hampa. Ia lahir dari kelelahan kolektif atas narasi lama yang menempatkan dunia Muslim dalam posisi subordinat—...

Dari Bandung ke Jeddah: Jejak Historis Solidaritas Selatan Global dan Aktualisasinya Kini

Peta dunia (hasil tangkapan layar dari https://www.mapsofworld.com/) “Let a new Asia and a new Africa be born!” — Soekarno , P idato P embukaan Konferensi Asia-Afrika, Bandung 1955  ( suaramuda.net ) MENJUAL HARAPAN - Pada April 1955, di sebuah kota yang belum lama merdeka dari kolonialisme, para pemimpin dari 29 negara Asia dan Afrika berkumpul di Bandung. Mereka tidak datang membawa senjata atau ultimatum, melainkan harapan dan keberanian untuk menyatakan bahwa dunia tidak hanya milik dua kutub adidaya. Konferensi Asia-Afrika (KAA) menjadi titik balik: bukan hanya dalam sejarah diplomasi, tetapi dalam sejarah kesadaran geopolitik dari Selatan Global. Kini, tujuh dekade kemudian, ketika Presiden Prabowo Subianto bertemu Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Jeddah, gema Bandung itu seolah bergetar kembali—bukan dalam bentuk seremoni, melainkan dalam semangat , bahwa negara-negara yang dahulu dianggap periferal kini menata ulang pusat-pusat pengaruh global. “KAA 1955 adalah mil...

Ketika Selatan Menatap Utara: Diplomasi Sebagai Tindakan Ontologis dan Politik Pengakuan

ilustrasi bola dunia (foto hasil tangkapan layar dari kompas.id) “Diplomacy is the art of listening before speaking.” — Harold Nicolson , diplomat dan sejarawan Inggris MENJUAL HARAPAN - Di dunia yang dipetakan oleh kekuasaan, “Selatan” dan “Utara” bukan hanya koordinat geografis, melainkan metafora tentang ketimpangan wacana, asimetri pengaruh, dan penjinakan identitas. Akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan geliat baru , yaitu munculnya kesadaran epistemik di berbagai belahan dunia Selatan yang tak lagi ingin sekadar diwakili—melainkan hadir sebagai pemakna sejarahnya sendiri. Apa makna menjadi bangsa dari Selatan dalam dunia yang masih dikonstruksi oleh lensa Utara? Pertanyaan ini menjadi titik tolak dalam membaca ulang dinamika geopolitik kontemporer. Diplomasi, yang dahulu begitu identik dengan negosiasi kuasa, kini menghadapi tantangan eksistensial: mampukah ia menjadi ruang di mana subjek kolektif dari Selatan menyatakan keberadaannya bukan dalam bahasa subo...