Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label geopolitik

Kebijakan Luar Negeri Prabowo-Gibran: Simbolisme Tanpa Strategi, Diplomasi Tanpa Transformasi

Foto hasil tangkapan layar dari https://www.middleeastmonitor.com MENJUAL HARAPAN -  DALAM satu tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, arah kebijakan luar negeri Indonesia tampak lebih banyak berputar pada simbolisme diplomatik daripada strategi substantif. Kunjungan kenegaraan, partisipasi dalam forum internasional, dan pidato-pidato di panggung global memang berlangsung, namun belum menunjukkan konsistensi arah yang berpijak pada kepentingan rakyat dan tantangan geopolitik kontemporer. Presiden Prabowo sempat tampil di Sidang Umum PBB ke-80, menyuarakan dukungan terhadap Palestina dan mengecam genosida di Gaza. Pidato tersebut mendapat apresiasi dari kalangan diplomatik, termasuk Dino Patti Djalal, yang menyebutnya sebagai “kembalinya Indonesia dalam diplomasi multilateral” (sumber: https://padek.jawapos.com/indonesia/2366704585/kiprah-diplomasi-luar-negeri-warnai-tahun-pertama-pemerintahan-prabowo-gibran ). Kendati begitu, dukungan vokal itu tidak diikuti dengan langkah...

Potret 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Antara Harapan dan Keraguan Publik

Sumber: setneg.go.id Oleh Silahudin Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung MENJUAL HARAPAN - Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran telah menjadi panggung dinamis bagi eksperimen kebijakan, diplomasi global, dan pertarungan persepsi publik. Laporan INDEF bertajuk “Rapor Netizen” mengungkapkan lanskap digital yang penuh sorotan, kritik, dan harapan. Dari reshuffle kabinet hingga program makan bergizi gratis, netizen menjadi aktor penting dalam menilai efektivitas dan etika pemerintahan. Presiden Prabowo menunjukkan orientasi geopolitik yang berbeda dari pendahulunya. Hampir 70% kunjungannya adalah lawatan ke luar negeri, berbanding terbalik dengan Jokowi yang 75% kunjungannya fokus ke dalam negeri. Prabowo tampak ingin menegaskan posisi Indonesia sebagai pemain strategis di tiga benua: Asia, Eropa, dan Amerika. Namun, di dalam negeri, dinamika politik tak kalah intens. Tiga kali reshuffle kabinet dalam satu tahun, melibatkan 10 pejabat setingkat menteri, menjadikan Prabowo sebagai pr...

Simbolisme Diplomatik Sebagai Bahasa Etik Antarbangsa

  “A handshake is not just a gesture—it is a performance of trust.” — Fahed Syauqi , peneliti simbolisme diplomatik modern   ( https://kumparan.com/ogi-cheetah/jabat-tangan-bicara-simbol-dan-nada-dalam-diplomasi-modern-254ZWuHoBQu ) MENJUAL HARAPAN - Dalam dunia diplomasi, tidak semua yang penting diucapkan. Seba gian besar justru ditampilkan—dalam gestur, dalam diam, dalam simbol. Tangan yang terulur dalam jabat erat, senyum yang tertahan, bahkan pilihan warna dasi atau urutan duduk dalam jamuan makan malam—semuanya adalah bagian dari bahasa diplomasi  yang tak tertulis, namun sarat makna. Simbolisme dalam diplomasi bukan sekadar ornamen. Ia adalah substansi yang dibungkus dalam bentuk . Dalam pendekatan konstruktivisme hubungan internasional, simbol-simbol ini membentuk norma, identitas, dan persepsi yang kemudian memengaruhi kebijakan luar negeri  (lihat: Substansi diplomasi modern kutipan pakar - Search ) . Seperti yang ditunjukkan dalam pertemuan antara Preside...

Kedaulatan dalam Era Platform, Ketika Negara Bersaing dengan Algoritma

  “Kedaulatan digital adalah pilar demokrasi. Tanpa kendali atas data dan infrastruktur, negara kehilangan hak menentukan masa depannya.” — Luciano Floridi , filsuf teknologi dan etika informasi   ( https://marinews.mahkamahagung.go.id/artikel/kedaulatan-negara-dan-tantangan-digital-0g5 )   MENJUAL HARAPAN - Di era pasca-Westphalia, negara didefinisikan oleh batas teritorial dan kendali atas hukum. Namun di era digital, batas-batas itu menjadi kabur. Negara tak lagi hanya bersaing dengan negara lain, tetapi juga dengan platform global —entitas non-negara yang mengendalikan data, algoritma, dan infrastruktur komunikasi. Facebook, Google, TikTok, dan OpenAI bukan sekadar perusahaan teknologi; mereka adalah aktor geopolitik baru . “Paradigma konservatif tentang kedaulatan negara memerlukan rekonstruksi konsep dan implementasi baru.”   — Prof. Ahmad M. Ramli , Guru Besar Cyber Law UNPAD   ( https://www.kompas.com/tren/read/2023/06/08/104753965/kedaulatan-negara-di-...

Membaca Dominasi dan Ketakutan dalam Arsitektur Internasional

“Power is not only what you have, but what the others think you have.” — Saul Alinsky , Rules for Radicals MENJUAL HARAPAN - Dalam sejarah hubungan internasional, kekuasaan tidak hanya dibangun dari militer dan ekonomi, melainkan juga dari persepsi. Ketika suatu bangsa dianggap berbahaya, dominan, atau tak terbendung, maka arsitektur global pun menyusun diri berdasarkan ketakutan. Ketakutan ini menciptakan aliansi, zona pengaruh, dan narasi ancaman yang membentuk kebijakan luar negeri hingga sistem keamanan regional. Kita hidup di dunia di mana epistemologi kekuasaan didominasi oleh asumsi tentang aktor yang berpotensi mengguncang tatanan. Dari “ancaman nuklir” Korea Utara hingga “pengaruh ekspansif” Tiongkok, narasi ini seringkali tidak sepenuhnya faktual—tetapi sangat menentukan arah geopolitik dunia. “To understand global power, one must first study its grammar: what is feared, who is framed, and how history is remembered.” — Shahrbanou Tadjbakhsh , Security as Emancipation Epistem...

Munculnya Paradigma Baru Dari Reruntuhan Dunia Lama

  “The future is not what it used to be.” — Paul Valéry , penyair dan filsuf Prancis   “Kita hidup di dunia yang penuh gejolak, di mana kepercayaan terhadap tatanan berbasis aturan semakin goyah.” — Susilo Bambang Yudhoyono, Tokyo Conference 2025  ( (lihat: Memotret Selatan Sebagai Gerakan Global - Universitas Gadjah Mada )   MENJUAL HARAPAN - Dunia hari ini berdiri di atas reruntuhan tatanan yang dulu diyakini stabil. Multilateralisme melemah, lembaga-lembaga internasional kehilangan legitimasi, dan krisis kepercayaan terhadap tata kelola global kian dalam. Pandemi, konflik bersenjata, perubahan iklim, dan disinformasi telah memperlihatkan bahwa sistem yang dibangun pasca-Perang Dunia II tak lagi mampu menjawab tantangan zaman.   (Lihat; Apa itu ‘Global South’ – kubu geopolitik yang sedang naik daun?   Apa itu ‘Global South’ – kubu geopolitik yang sedang naik daun? ) “Ketika satu negara menarik diri, harus ada negara lain yang siap melangkah maju. Dunia sa...

Politik yang Mendengar: Diplomasi Sebagai Tindakan Mendengar Yang Radikal

  “Diplomacy is the art of listening before speaking.” — Harold Nicolson, diplomat dan sejarawan Inggris MENJUAL HARAPAN - Di tengah dunia yang semakin gaduh oleh retorika kekuasaan dan kompetisi hegemonik, diplomasi yang mendengar tampak seperti jalan sunyi—tidak populer, tidak spektakuler, tetapi justru menyimpan kekuatan transformatif. Dalam dunia yang dipenuhi oleh “politik yang berbicara”, kita lupa bahwa mendengar adalah tindakan politik yang paling radikal: ia menunda penghakiman, membuka ruang pengakuan, dan memungkinkan martabat hadir tanpa syarat. “Diplomasi bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga tentang menciptakan ruang di mana pihak lain merasa didengar dan dihargai.”  — R.P. Barston, dalam Modern Diplomacy (2006) Dalam konteks ini, diplomasi bukan sekadar alat negara untuk mencapai kepentingan nasional, tetapi juga praktik etis  yang mengakui keberadaan pihak lain sebagai subjek, bukan objek. Diplomasi yang mendengar adalah bentuk keberanian untuk...

Kekuasaan sebagai Pertemuan: Dunia Muslim dan Rekonstruksi Makna Kuasa Yang Manusiawi

“The Muslim world is not a monolith, but it is a mosaic of possibilities.” — Shadi Hamid , Brookings Institution MENJUAL HARAPAN - Dalam lanskap geopolitik yang tengah mengalami pergeseran, dunia Muslim tidak lagi hanya menjadi medan konflik atau objek intervensi, melainkan mulai tampil sebagai subjek sejarah yang aktif dan reflektif. Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Jeddah, misalnya, bukan hanya diplomasi bilateral, tetapi juga bagian dari narasi baru: bahwa dunia Muslim sedang menata ulang dirinya sebagai kekuatan moral, ekonomi, dan epistemik. “Dunia Islam harus membaca peluang geopolitik baru: saat Barat melemah dan Timur menguat. Persatuan adalah kunci.” — Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI), 2025  (liat; HILMI: Dunia Islam Harus Membaca Peluang Geopolitik Baru ). Kebangkitan ini tidak datang dari ruang hampa. Ia lahir dari kelelahan kolektif atas narasi lama yang menempatkan dunia Muslim dalam posisi subordinat—...

Dari Bandung ke Jeddah: Jejak Historis Solidaritas Selatan Global dan Aktualisasinya Kini

Peta dunia (hasil tangkapan layar dari https://www.mapsofworld.com/) “Let a new Asia and a new Africa be born!” — Soekarno , P idato P embukaan Konferensi Asia-Afrika, Bandung 1955  ( suaramuda.net ) MENJUAL HARAPAN - Pada April 1955, di sebuah kota yang belum lama merdeka dari kolonialisme, para pemimpin dari 29 negara Asia dan Afrika berkumpul di Bandung. Mereka tidak datang membawa senjata atau ultimatum, melainkan harapan dan keberanian untuk menyatakan bahwa dunia tidak hanya milik dua kutub adidaya. Konferensi Asia-Afrika (KAA) menjadi titik balik: bukan hanya dalam sejarah diplomasi, tetapi dalam sejarah kesadaran geopolitik dari Selatan Global. Kini, tujuh dekade kemudian, ketika Presiden Prabowo Subianto bertemu Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Jeddah, gema Bandung itu seolah bergetar kembali—bukan dalam bentuk seremoni, melainkan dalam semangat , bahwa negara-negara yang dahulu dianggap periferal kini menata ulang pusat-pusat pengaruh global. “KAA 1955 adalah mil...

Ketika Selatan Menatap Utara: Diplomasi Sebagai Tindakan Ontologis dan Politik Pengakuan

ilustrasi bola dunia (foto hasil tangkapan layar dari kompas.id) “Diplomacy is the art of listening before speaking.” — Harold Nicolson , diplomat dan sejarawan Inggris MENJUAL HARAPAN - Di dunia yang dipetakan oleh kekuasaan, “Selatan” dan “Utara” bukan hanya koordinat geografis, melainkan metafora tentang ketimpangan wacana, asimetri pengaruh, dan penjinakan identitas. Akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan geliat baru , yaitu munculnya kesadaran epistemik di berbagai belahan dunia Selatan yang tak lagi ingin sekadar diwakili—melainkan hadir sebagai pemakna sejarahnya sendiri. Apa makna menjadi bangsa dari Selatan dalam dunia yang masih dikonstruksi oleh lensa Utara? Pertanyaan ini menjadi titik tolak dalam membaca ulang dinamika geopolitik kontemporer. Diplomasi, yang dahulu begitu identik dengan negosiasi kuasa, kini menghadapi tantangan eksistensial: mampukah ia menjadi ruang di mana subjek kolektif dari Selatan menyatakan keberadaannya bukan dalam bahasa subo...

Diplomasi Hangat di Jeddah: Presiden Prabowo Bertemu Putra Mahkota MBS

  MENJUAL HARAPAN   — Suasana hangat dan penuh keakraban menyelimuti kunjungan resmi Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, ke Istana Al-Salam di Jeddah, Arab Saudi. Setibanya di lokasi, Presiden Prabowo langsung disambut secara pribadi oleh Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), sebuah gestur diplomatik yang mencerminkan kedekatan hubungan kedua negara. Keduanya tampak berbincang santai sambil berjalan berdampingan menuju lokasi upacara kenegaraan. Prosesi penyambutan yang berlangsung khidmat mempertegas pentingnya kunjungan ini dalam kalender diplomasi bilateral. Usai seremoni, Presiden Prabowo dan Pangeran MBS melanjutkan dengan pertemuan tertutup empat mata. Pertemuan ini membahas spektrum isu strategis—mulai dari penguatan kerja sama ekonomi hingga respons bersama terhadap dinamika global terkini. Puncak agenda hari itu adalah pertemuan bilateral tingkat tinggi yang dipimpin langsung oleh kedua pemimpin, didampingi delegasi masing-masing neg...