Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label kemerdekaan

Refleksi Historis, dan Legitimasi Kepemimpinan

MENJUAL HARAPAN - Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya dihadapan Sidang Tahunan MPR RI, 15 Agustus 2025, menjahit masa lalu, masa kini, dan aspirasi masa depan sebagai benang legitimiasi. Presiden dalam pidatonya membuka ruang historis, yaitu Proklamasi 17 Agustus 1945 diposisikan sebagai “momen penting dalam perjuangan panjang bangsa ini…,” titik asal yang terus “menggali” tugas-tugas kenegaraan yang belum tuntas. Dengan begitu, sejarah bukan sekadar arsip, melainkan sumber daya simbolik yang ditarik ke masa kini untuk meneguhkan mandat (ingat, mandat tak hanya lahir dari suara, tetapi juga dari narasi). Dalam kerangka sosiologi politik, ini serupa dengan apa yang Benedict Anderson sebut sebagai komunitas imajiner   ke-kitaan   yang diproduksi oleh kisah bersama dan ritus kebangsaan, tempat Proklamasi berfungsi sebagai “mitos pendiri” yang mempersatukan (Anderson, 2016). Lapisan kedua legitimasi dibangun melalui klaim kontinuitas , yaitu  penghormatan kepada para p...

Hukum yang Gagap Bahasa Rakyat

  MENJUAL HARAPAN - Hukum, dalam idealnya, adalah bahasa keadilan.  Ia seharusnya bisa dipahami oleh semua, menja di pelindung yang adil, dan menjadi alat pembebasan. Akan tetapi, dalam realitas praktiknya, hukum sering kali berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti rakyat , bahasa teknokratis, formal, dan jauh dari pengalaman sehari-hari. Warga sering kali merasa asing di hadapan hukum.  Mereka tak tahu prosedur, tak paham istilah, dan tak punya akses. Ketika mereka mencoba bicara, hukum tak mendengar. Ketika mereka meminta perlindungan, hukum justru menghakimi. Bahasa hukum menjadi tembok, bukan jembatan. Dalam dialog komunitas, muncul keluhan: “Kami tak tahu bagaimana membela diri.”  Ini bukan soal ketidaktahuan, tetapi soal sistem yang tak inklusif. Hukum dirancang untuk mereka yang punya kuasa, bukan untuk mereka yang tertindas. Ia menjadi alat eksklusi. Hukum yang gagap adalah hukum yang tak mampu menangkap kompleksitas realitas.  Ia terlalu kaku, terla...

Proklamasi yang Tertunda

Serial Refleksi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945-2025 (visual atas bantuan AI) MENJUAL HARAPAN - Kemerdekaa n , dalam makna terdalamnya, bukan sekadar peristiwa historis yang terjadi pada 17 Agustus 1945.  Ia merupakan proses yang terus-menerus, sebuah janji yang belum sepenuhnya ditepati. Proklamasi adalah deklarasi, tetapi kemerdekaan adalah perjuangan yang tak pernah selesai. Di tengah gegap gempita perayaan, kita perlu bertanya: apakah kita benar-benar telah merdeka? Di jalan-jalan kampung, di lorong-lorong kota, dan di ruang-ruang pelayanan publik, kemerdekaan sering kali terasa seperti ilusi.  Warga masih antre berjam-jam untuk layanan yang seharusnya mudah. Anak-anak masih belajar di ruang kelas yang bocor. Petani masih bergantung pada tengkulak. Di mana letak kemerdekaan dalam realitas ini? Proklamasi yang tertunda merupakan metafora tentang janji negara yang belum ditepati.  Ia bukan sekadar kritik, tetapi panggilan untuk refleksi. Kita telah terlalu lama merayakan s...