MENJUAL HARAPAN - Di sebuah negeri yang dahulu dikenal dengan sapaan hangat dan tangan yang tak segan membantu, berdirilah sebuah kampung bernama Sindang Sadar. Kampung itu tak besar, tapi dulu cukup untuk menampung cerita, tawa, dan tangis bersama. Di sana, gotong royong bukan sekadar kata, melainkan napas yang menghidupi setiap sudut rumah dan jalan setapak. “Dulu, kalau ada yang bangun rumah, semua datang. Tak perlu undangan,” kata Mak Inem, sambil menyapu halaman yang kini jarang diinjak tetangga. Ia berbicara pada angin, atau mungkin pada kenangan yang masih bersarang di sudut matanya. “Sekarang? Semua sibuk. Sibuk sendiri.” Di seberang jalan, Pak Darsa sedang menambal genteng rumahnya. Ia tak lagi menunggu bantuan. Tangga ia pinjam dari warung, palu dari anaknya, dan semangat dari rasa tak ingin merepotkan. “Saya bisa sendiri,” katanya, meski lututnya gemetar. “Tak enak minta tolong. Mereka juga punya urusan.” Anak-anak di kampung itu tak lagi bermain layang-layang bersama. Merek...
Berbagi setetes info, menuai pengetahuan