Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label negara

Elegi Kota Pahlawan: Ketika Surabaya Menolak Padam

MENJUAL HARAPAN - Setiap tahun, ketika dedaunan mulai menguning dan angin November berbisik perlahan, ingatan bangsa ini kembali tertuju pada satu nama kota: Surabaya. Ia bukan sekadar kota, melainkan altar sakral  tempat martabat dipertaruhkan dengan nyawa, tempat kemerdekaan yang baru seumur jagung diuji oleh gemuruh meriam. Tanggal Sepuluh November  bukanlah sekadar tanggal; ia adalah epos  yang tertulis dengan tinta darah, sumpah yang diikrarkan dalam kobaran api. Proklamasi 17 Agustus 1945 telah mengoyak tirai kegelapan, namun fajar kebebasan itu masih rapuh, diintai oleh bayangan masa lalu yang ingin kembali mencengkeram. Di sudut kota, di Hotel Yamato  yang angkuh, bendera tiga warna (Merah-Putih-Biru) kembali dikibarkan, seolah mencabik-cabik harga diri yang baru saja direngkuh. Tangan-tangan perkasa rakyat Surabaya tak sudi berdiam. Insiden heroik perobekan kain biru itu, menyisakan Merah dan Putih  yang berkibar gagah, adalah proklamasi kedua: bahwa ke...

Simbolisme Diplomatik Sebagai Bahasa Etik Antarbangsa

  “A handshake is not just a gesture—it is a performance of trust.” — Fahed Syauqi , peneliti simbolisme diplomatik modern   ( https://kumparan.com/ogi-cheetah/jabat-tangan-bicara-simbol-dan-nada-dalam-diplomasi-modern-254ZWuHoBQu ) MENJUAL HARAPAN - Dalam dunia diplomasi, tidak semua yang penting diucapkan. Seba gian besar justru ditampilkan—dalam gestur, dalam diam, dalam simbol. Tangan yang terulur dalam jabat erat, senyum yang tertahan, bahkan pilihan warna dasi atau urutan duduk dalam jamuan makan malam—semuanya adalah bagian dari bahasa diplomasi  yang tak tertulis, namun sarat makna. Simbolisme dalam diplomasi bukan sekadar ornamen. Ia adalah substansi yang dibungkus dalam bentuk . Dalam pendekatan konstruktivisme hubungan internasional, simbol-simbol ini membentuk norma, identitas, dan persepsi yang kemudian memengaruhi kebijakan luar negeri  (lihat: Substansi diplomasi modern kutipan pakar - Search ) . Seperti yang ditunjukkan dalam pertemuan antara Preside...

Kedaulatan dalam Era Platform, Ketika Negara Bersaing dengan Algoritma

  “Kedaulatan digital adalah pilar demokrasi. Tanpa kendali atas data dan infrastruktur, negara kehilangan hak menentukan masa depannya.” — Luciano Floridi , filsuf teknologi dan etika informasi   ( https://marinews.mahkamahagung.go.id/artikel/kedaulatan-negara-dan-tantangan-digital-0g5 )   MENJUAL HARAPAN - Di era pasca-Westphalia, negara didefinisikan oleh batas teritorial dan kendali atas hukum. Namun di era digital, batas-batas itu menjadi kabur. Negara tak lagi hanya bersaing dengan negara lain, tetapi juga dengan platform global —entitas non-negara yang mengendalikan data, algoritma, dan infrastruktur komunikasi. Facebook, Google, TikTok, dan OpenAI bukan sekadar perusahaan teknologi; mereka adalah aktor geopolitik baru . “Paradigma konservatif tentang kedaulatan negara memerlukan rekonstruksi konsep dan implementasi baru.”   — Prof. Ahmad M. Ramli , Guru Besar Cyber Law UNPAD   ( https://www.kompas.com/tren/read/2023/06/08/104753965/kedaulatan-negara-di-...

Refleksi Historis, dan Legitimasi Kepemimpinan

MENJUAL HARAPAN - Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya dihadapan Sidang Tahunan MPR RI, 15 Agustus 2025, menjahit masa lalu, masa kini, dan aspirasi masa depan sebagai benang legitimiasi. Presiden dalam pidatonya membuka ruang historis, yaitu Proklamasi 17 Agustus 1945 diposisikan sebagai “momen penting dalam perjuangan panjang bangsa ini…,” titik asal yang terus “menggali” tugas-tugas kenegaraan yang belum tuntas. Dengan begitu, sejarah bukan sekadar arsip, melainkan sumber daya simbolik yang ditarik ke masa kini untuk meneguhkan mandat (ingat, mandat tak hanya lahir dari suara, tetapi juga dari narasi). Dalam kerangka sosiologi politik, ini serupa dengan apa yang Benedict Anderson sebut sebagai komunitas imajiner   ke-kitaan   yang diproduksi oleh kisah bersama dan ritus kebangsaan, tempat Proklamasi berfungsi sebagai “mitos pendiri” yang mempersatukan (Anderson, 2016). Lapisan kedua legitimasi dibangun melalui klaim kontinuitas , yaitu  penghormatan kepada para p...

Negara, Kontrak Sosial dan Jalan Terjal Menuju Nol Persen Kemiskinan

  Oleh Silahudin MENJUAL HARAPAN  - Dalam pidatonya Presiden Prabowo di Sidang Tahunan MPR, 15 Agustus 2025, menegaskan misi ambisius, yaitu  penurunan kemiskinan ekstrem menuju 0% dalam waktu sesingkat-singkatnya . Janji ini bukan sekadar target statistik, melainkan simbol moral negara yang berusaha menunaikan kontrak sosial dengan rakyatnya. Dalam perspektif sosiologi politik, kemiskinan tidak hanya berarti kekurangan materi, melainkan juga kegagalan negara memenuhi amanat dasar konstitusi: “memajukan kesejahteraan umum” (UUD 1945). T.H. Marshall (1950) menyebut hak sosial, akses pendidikan, kesehatan, dan jaminan hidup layak-sebagai dimensi integral kewarganegaraan. Dengan demikian, komitmen 0% kemiskinan merupakan klaim politik atas legitimasi negara di hadapan masyarakat. Salah satu instrumen yang diusung adalah Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) , yang diklaim mampu memastikan akurasi sasaran kebijakan sosial. Dalam teori administr...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Demokrasi Tanpa Demos

MENJUAL HARAPAN - Demokrasi   lahir dari gagasan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat.  Ia a dalah janji bahwa setiap suara berarti, setiap warga berhak menentukan arah, dan setiap keputusan harus lahir dari partisipasi. Namun, ketika demos - rakyat   dihilangkan, demokrasi menjadi kulit tanpa isi. Dalam praktik politik hari ini, demokrasi sering kali hanya berarti pemilu.  Warga diminta memilih, tetapi tak pernah diajak bicara. Mereka diberi hak suara, tetapi tak diberi ruang tafsir. Demokrasi menjadi ritual lima tahunan, bukan proses harian. Dalam obrol-obrol dengan warga masyarakat, sering berkata: “Kami hanya dibutuhkan saat kampanye.”  Setelah itu, suara mereka tak lagi didengar, kebutuhan mereka tak lagi diprioritaskan, dan keberadaan mereka tak lagi diakui. Demokrasi menjadi mobilisasi, bukan partisipasi. Demokrasi tanpa demos juga tampak dalam sistem representasi.  Wakil rakyat tak lagi mewakili, partai politik tak lagi mendengar, dan parlemen menjad...

Narasi yang Dikuasai Negara

MENJUAL HARAPAN - Setiap bangsa hidup dari narasi.  Ia adalah benang yang merajut identitas, m embentuk ingatan, dan menentukan arah. Namun, ketika narasi hanya dimiliki oleh negara, maka yang lahir bukan kebangsaan, melainkan penghapusan. Warga tak lagi punya ruang untuk bercerita. Narasi resmi sering kali dibentuk dari atas.  Ia ditulis dalam buku pelajaran, disampaikan dalam pidato, dan diputar dalam media. Tokoh-tokoh dipilih, peristiwa diseleksi, dan makna ditentukan. Sejarah menjadi milik negara, bukan milik rakyat. Narasi yang dikuasai negara juga membentuk cara kita memahami masa lalu.  Perlawanan dianggap gangguan, kritik dianggap ancaman, dan keragaman dianggap penyimpangan. Sejarah disederhanakan, kompleksitas dihapuskan, dan luka disembunyikan. Dalam refleksi filosofis, narasi adalah ruang perebutan makna.  Ia bukan hanya soal cerita, tetapi soal siapa yang berhak bicara. Ketika negara memonopoli narasi, maka warga kehilangan suara. Demokrasi menjadi suny...