MENJUAL HARAPAN - Setiap tahun, ketika dedaunan mulai menguning dan angin November berbisik perlahan, ingatan bangsa ini kembali tertuju pada satu nama kota: Surabaya. Ia bukan sekadar kota, melainkan altar sakral tempat martabat dipertaruhkan dengan nyawa, tempat kemerdekaan yang baru seumur jagung diuji oleh gemuruh meriam. Tanggal Sepuluh November bukanlah sekadar tanggal; ia adalah epos yang tertulis dengan tinta darah, sumpah yang diikrarkan dalam kobaran api.
Proklamasi 17 Agustus 1945 telah mengoyak tirai kegelapan, namun fajar kebebasan itu masih rapuh, diintai oleh bayangan masa lalu yang ingin kembali mencengkeram. Di sudut kota, di Hotel Yamato yang angkuh, bendera tiga warna (Merah-Putih-Biru) kembali dikibarkan, seolah mencabik-cabik harga diri yang baru saja direngkuh. Tangan-tangan perkasa rakyat Surabaya tak sudi berdiam. Insiden heroik perobekan kain biru itu, menyisakan Merah dan Putih yang berkibar gagah, adalah proklamasi kedua: bahwa kemerdekaan ini bukan pemberian, melainkan hak yang akan dibela hingga titik darah penghabisan.
Namun, drama tak berhenti di sana. Kedatangan pasukan Sekutu yang "ditumpangi" oleh hasrat NICA untuk kembali berkuasa, seolah menabur bara di atas sekam. Puncaknya, setelah terbunuhnya Jenderal Mallaby, datanglah ultimatum yang angkuh dari Inggris: Menyerah tanpa syarat, tunduk, atau kota ini akan rata dengan tanah.
Pukul 06.00 pagi, 10 November 1945. Matahari terbit, namun cahayanya tertutup asap mesiu. Surabaya menolak menyerah.
Bukan hanya tentara terlatih yang maju, melainkan seluruh jiwa. Ada pedagang yang meninggalkan dagangannya, pelajar yang menggenggam bambu runcing, ulama yang meniupkan semangat jihad suci, dan rakyat jelata yang mengubah diri menjadi benteng hidup.
"Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!" - Bung Tomo
Orasi yang menggelegar dari corong radio itu bukan sekadar kata-kata; ia adalah mantra yang membakar semangat hingga ke sumsum. Ia mengubah ketakutan menjadi keberanian, keraguan menjadi tekad baja. Pertempuran yang terjadi kemudian adalah neraka tiga minggu di mana puluhan ribu nyawa dikorbankan. Mereka tumbang, tetapi tidak pernah mundur.
Refleksi Keabadian Sang Pahlawan
Tanggal 10 November, yang kini ditetapkan sebagai Hari Pahlawan melalui Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959, adalah pengingat abadi. Ia bukan perayaan kemenangan fisik, sebab secara militer, Surabaya memang harus jatuh. Ia adalah perayaan kemenangan spiritual; kemenangan jiwa yang menolak ditaklukkan, yang membuktikan kepada dunia bahwa bangsa ini berani membayar harga tertinggi demi kemerdekaan.
Menjadi Pahlawan hari ini, tak lagi harus mengangkat bambu runcing atau berhadapan langsung dengan peluru. Pahlawan masa kini adalah:
Pahlawan Integritas: Yang menolak korupsi, yang jujur dalam setiap langkah, yang membangun negeri dengan keringat halal.
Pahlawan Ilmu: Yang tekun belajar, yang meneliti tanpa lelah, yang menciptakan inovasi untuk kemajuan bangsa.
Pahlawan Sosial: Yang mengulurkan tangan pada yang lemah, yang menyuarakan keadilan, yang merawat persatuan di tengah kebhinnekaan.
Pahlawan Lingkungan: Yang menjaga bumi pertiwi dari kerusakan, yang mewariskan alam yang sehat bagi generasi mendatang.
Mereka yang gugur di Surabaya telah memberikan segalanya: masa depan, keluarga, bahkan nama mereka sendiri. Warisan mereka adalah nyala api di dada kita, sebuah pesan puitis yang tak lekang dimakan zaman: bahwa nilai-nilai luhur - keberanian, pengorbanan, dan cinta tanah air - adalah harga mati yang harus terus kita perjuangkan dalam setiap tarikan napas kehidupan.
Mari kita hening sejenak, bukan untuk meratapi kekalahan, tetapi untuk mendengarkan bisikan angin di atas pusara para syuhada. Dalam keheningan itu, kita akan menemukan makna sejati dari Menjadi Pahlawan: yaitu menempatkan kepentingan bangsa dan negara jauh di atas kepentingan diri sendiri, sepanjang waktu, hingga akhir masa. (*)
Komentar