Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label cerita bersambung

Selembar Bendera Kekuasaan

MENJUAL HARAPAN - Pentas besar bernama Nusantara tiba-tiba berguncang. Bukan gempa bumi yang menggetarkan, melainkan irama genderang yang ditabuh serentak, memekakkan telinga para penghuni. Seolah-olah, para dalang di balik layar sepakat memainkan lakon yang sama, lakon yang sudah usang namun selalu berhasil menguras emosi penonton. Dahulu kala, Nusantara merupakan taman yang subur, tempat beragam bunga mekar berdampingan, saling berbagi sari dan aroma. Namun, belakangan, tanahnya terasa kering kerontang, tak lagi mampu menumbuhkan tunas-tunas harapan. Angin pun tak lagi berembus sejuk, melainkan membawa debu-debu perpecahan yang menyesakkan. Di pojok panggung, seekor kambing jantan berbulu putih bersih, yang dipanggil Si Jujur, mengembik  risau. Ia tak mengerti mengapa padang rumput yang biasa ia jelajahi kini penuh duri dan ranjau. Dulu, ia hanya perlu menunduk untuk memakan rumput segar, kini ia harus waspada agar kakinya tidak terluka. Para penghuni lain, seperti kawanan burung...

Heningnya Suara Rakyat Kecil (Sesi 5 dari Cerber "Lorong Gelap Keadilan)

MENJUAL HARAPAN - Di tengah riuhnya kota, mesin-mesin pembangunan meraung dan gedung-gedung bertingkat bersaing menjulang, Dadun  menemukan sebuah keheningan yang memekakkan telinga. Heningnya suara rakyat kecil, yang suaranya telah lama dibungkam oleh ketakutan, keputusasaan, dan jerat kemiskinan. Mereka adalah jiwa-jiwa yang terpinggirkan, yang keberadaannya seolah tak tercatat dalam lembaran sejarah negeri. Dadun menyadari, keadilan yang ia cari haruslah berakar pada suara-suara yang telah lama terabaikan ini. Dadun  sengaja menepi dari hiruk pikuk pusat kota, mencari tempat di mana kehidupan berdenyut dengan ritme yang berbeda. Ia menemui mereka, para petani yang tanahnya dirampas oleh proyek-proyek raksasa tanpa kompensasi yang layak, meninggalkan mereka tanpa mata pencarian. Ia berdialog dengan para buruh yang haknya diinjak-injak, upah mereka dipangkas, dan keselamatan mereka diabaikan demi keuntungan segelintir pengusaha rakus. Ia juga bertemu para ibu yang anaknya men...

Pintu Gerbang - Sesi 2: Di Antara Jalan Sunyi dan Padang Kekuasaan

“Tak semua yang meninggalkan rumah, melarikan diri. Sebagian mencari ruang agar kebenaran bisa tumbuh tanpa dipenggal.” MENJUAL HARAPAN - Hari-hari setelah malam hijriah itu berjalan perlahan, namun tidak kosong. Dalam diam, keresahan menjelma menjadi obrolan, obrolan menjadi naskah, dan naskah menjadi siasat. Di antara mereka -- tiga jiwa muda yang terpantik cahaya malam--hadir tekad yang tak perlu diumumkan, yaitu: mereka akan berpindah dari keluh menjadi gerak. Di kampus, di bawah bayang mural pahlawan dan kutipan slogan usang, mereka bertiga menyusun semacam “rumah baca jalanan”—bukan untuk menyaingi kelas, tapi untuk memberi ruang bagi wacana yang ditutup di ruang resmi. Buku-buku Pramoedya, karya Ali Shariati, tafsir sosial Al-Attas, hingga pamflet-pamflet kecil dari desa dampingan, bertebaran di meja kayu panjang di lorong fakultas. “Hijrah bukan soal tempat,” kata si mahasiswi hukum, suaranya menyusup di antara percakapan. “Ini tentang keberpihakan. Kalau kita tetap di dalam si...

Pintu Gerbang - Sesi 1: Malam yang Menggugah Kalender

Muhasabah Historis — Hijrah sebagai Titik Mula Kesadaran Kolektif “Ada malam yang tak sekadar gelap, tapi mengandung jalan. Ada waktu yang tak sekadar berlalu, tapi memanggil untuk berpindah arah.” MENJUAL HARAPAN - Langit Bandung malam itu tidak riuh, tapi penuh isyarat. Hilal Muharram 1447 Hijriah menggantung di atas kota yang terus menggigil antara ingatan dan penyangkalan. Di ruang kelas tua Fakultas Ilmu Sosial, seorang dosen berambut perak menyalakan proyektor dengan suara klik yang nyaris mirip detik jam. “Ini bukan sejarah,” katanya perlahan. “Ini adalah pintu gerbang .” Ia menatap wajah-wajah muda di hadapannya, sebagian penulis alternatif, sebagian aktivis komunitas, sebagian hanya pencari makna yang tak puas dengan kotak-kotak akademik. Slide demi slide muncul: jejak hijrah Nabi SAW dalam garis-garis pasir, potongan Piagam Madinah yang telah dilupakan dalam buku teks, dan kalimat samar: “Berpindah bukan sekadar pergi. Berpindah adalah berpihak.” Seketika ruangan itu menjadi ...

"Jejak Pangan di Dunia yang Berubah - Bagian 1: Ancaman di Meja Makan"

Ilustrasi ragam pangan (foto menjual-harapan.blogspot.com) "Cerita bersambung ini merupakan renungan dalam memperingati "Hari Keamanan Pangan Sedunia" tanggal 7 Juni" MENJUAL-HARAPAN - Di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, seorang petani bernama Arif memandang sawahnya dengan cemas. Hujan yang tak menentu dan harga pupuk yang melambung tinggi membuatnya bertanya-tanya apakah panennya tahun ini akan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sementara itu, ribuan kilometer jauhnya, di sebuah kota besar di Eropa, seorang ibu bernama Sofia membaca berita tentang meningkatnya kasus penyakit akibat makanan yang terkontaminasi. Hari ini, 7 Juni, dunia memperingati Hari Keamanan Pangan Sedunia , sebuah momentum yang semakin relevan di tengah krisis pangan global. 295 juta orang di dunia kini terancam kelaparan , dipicu oleh konflik, perubahan iklim, dan ketidakstabilan ekonomi (lihat: money.kompas.com ). Di Indonesia, ketahanan pangan menjadi tantangan besar, dengan konver...