Heningnya Suara Rakyat Kecil (Sesi 5 dari Cerber "Lorong Gelap Keadilan)
MENJUAL HARAPAN - Di tengah riuhnya kota, mesin-mesin pembangunan meraung dan gedung-gedung bertingkat bersaing menjulang, Dadun menemukan sebuah keheningan yang memekakkan telinga. Heningnya suara rakyat kecil, yang suaranya telah lama dibungkam oleh ketakutan, keputusasaan, dan jerat kemiskinan. Mereka adalah jiwa-jiwa yang terpinggirkan, yang keberadaannya seolah tak tercatat dalam lembaran sejarah negeri. Dadun menyadari, keadilan yang ia cari haruslah berakar pada suara-suara yang telah lama terabaikan ini.
Dadun sengaja menepi dari hiruk pikuk pusat kota, mencari tempat di mana kehidupan berdenyut dengan ritme yang berbeda. Ia menemui mereka, para petani yang tanahnya dirampas oleh proyek-proyek raksasa tanpa kompensasi yang layak, meninggalkan mereka tanpa mata pencarian. Ia berdialog dengan para buruh yang haknya diinjak-injak, upah mereka dipangkas, dan keselamatan mereka diabaikan demi keuntungan segelintir pengusaha rakus. Ia juga bertemu para ibu yang anaknya menjadi korban janji-janji palsu, korban narkoba yang disisihkan, atau korban kriminalisasi yang tak bersalah.
Mata mereka menyimpan luka yang mendalam, cerita tentang penderitaan yang tak berujung, dan ketidakberdayaan di hadapan kekuasaan. Namun, di balik itu semua, Dadun melihat sepercik harapan yang tak pernah sepenuhnya padam. Harapan akan keadilan, meskipun samar, tetap bersemayam dalam setiap tarikan napas mereka. Mereka adalah simbol keteguhan, tentang daya tahan manusia di hadapan badai ketidakadilan yang tak henti-hentinya menerpa.
Refleksi Dadun semakin dalam: lorong gelap keadilan bukanlah sekadar ruang fisik, melainkan juga ruang psikologis yang mencekam, di mana rasa takut dan ketidakberdayaan berkuasa. Suara mereka tak terdengar di parlemen, tak tercatat di media massa arus utama, dan tak dihiraukan di meja-meja perundingan.
Mereka adalah statistik yang tak bermakna bagi penguasa, namun bagi Dadun, mereka adalah manusia dengan nama, dengan mimpi, dan dengan hak yang telah dirampas.
Dadun tahu, ia tak bisa hanya menjadi pengamat. Ia harus menjadi jembatan antara dunia mereka yang terpinggirkan dengan dunia kekuasaan yang kejam. Ia harus menjadi penyambung lidah, menyuarakan keluh kesah mereka, membawa kisah-kisah mereka ke permukaan. Ia sadar, perjuangannya bukan hanya untuk dirinya sendiri atau untuk Karsa di penjara, melainkan untuk setiap individu yang telah disenyapkan oleh sistem yang tak adil.
Ia merasakan beban moral yang besar, tetapi sebuah panggilan suci. Ia mulai mengumpulkan cerita, mencatat setiap detail, dan mendokumentasikan bukti-bukti dari penindasan yang sistematis. Setiap cerita menjadi amunisi, setiap air mata menjadi alasan kuat untuk terus berjuang. Ia belajar tentang arti sesungguhnya dari ketidakberdayaan, tetapi juga tentang kekuatan yang tersembunyi dalam persatuan dan solidaritas.
Di tengah heningnya suara-suara itu, Dadun menemukan kekuatannya sendiri. Ia adalah cerminan dari mereka, sebuah perpanjangan dari asa yang tak terucapkan. Ia berjanji akan menjadi suara bagi mereka yang tak bersuara, mata bagi mereka yang tak bisa melihat keadilan, dan tangan bagi mereka yang tak berdaya.
Perjalanan ini telah mengajarinya bahwa keadilan sejati haruslah dimulai dari hati nurani, dan diperjuangkan untuk setiap jiwa, tanpa terkecuali. (bersambung ke sesi 6)