Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Pancasila

Anggota MPR H. Sulaeman L. Hamzah Ajak Pelajar Papua Pertahankan Semangat Gotong Royong di Era Digital

MERAUKE, PAPUA SELATAN , MENJUAL HARAPAN   – Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) H. Sulaeman L. Hamzah , sukses menggelar Sosialisasi 4 Konsensus Kebangsaan ke-8 di Aula SMA Kolase Pendidikan Guru (KPG) Khas Papua, Merauke, pada 09 Desember 2025. Acara ini bertujuan memasyarakatkan empat pilar bangsa: Pancasila , UUD 1945 , NKRI , dan Bhinneka Tunggal Ika . Sebagai narasumber, H. Sulaeman L. Hamzah, Anggota MPR/DPR-RI Dapil Provinsi Papua periode 2024-2029 , berdialog dengan 150 peserta yang terdiri dari siswa-siswi, tenaga pendidik SMA KPG Khas Papua, tokoh adat, masyarakat, dan media lokal. Kegiatan ini diselenggarakan oleh pengurus Rumah Aspirasi H. Sulaeman L. Hamzah bekerjasama dengan pihak sekolah. Dalam sesi tanya jawab, muncul pertanyaan yang sangat relevan dengan dinamika sosial saat ini, yaitu mengenai tantangan mempertahankan nilai gotong royong di tengah arus modernisasi dan era digital. Peserta menyoroti bagaimana kemajuan teknologi, indi...

Anggota MPR-RI H. Sulaeman L. Hamzah Ajak Pelajar Merauke Perkuat 4 Konsensus Kebangsaan

  MERAUKE, PAPUA SELATAN , MENJUAL HARAPAN   – Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) H. Sulaeman L. Hamzah (A-431) sukses menggelar Sosialisasi 4 Konsensus Kebangsaan ke-7 di Aula SMA Negeri 1 Merauke pada 08 Desember 2025. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan pemahaman dan implementasi nilai-nilai luhur bangsa, yakni Pancasila , UUD 1945 , NKRI , dan Bhinneka Tunggal Ika , di kalangan pelajar dan tenaga pendidik. Sosialisasi ini merupakan bagian dari tugas Anggota MPR untuk memasyarakatkan ketetapan MPR dan empat konsensus kebangsaan, serta mengkaji sistem ketatanegaraan dan menyerap aspirasi masyarakat. Acara yang diselenggarakan oleh Rumah Aspirasi H. Sulaeman L. Hamzah bekerja sama dengan SMA Negeri 1 Merauke ini dihadiri oleh 150 peserta, termasuk siswa-siswi, tenaga pendidik, tokoh adat, dan media lokal. Dalam sesi dialog, peserta melontarkan pertanyaan tajam mengenai isu-isu nasional dan lokal. Salah satu pertanyaan menyoroti masalah perilaku...

Elegi Kota Pahlawan: Ketika Surabaya Menolak Padam

MENJUAL HARAPAN - Setiap tahun, ketika dedaunan mulai menguning dan angin November berbisik perlahan, ingatan bangsa ini kembali tertuju pada satu nama kota: Surabaya. Ia bukan sekadar kota, melainkan altar sakral  tempat martabat dipertaruhkan dengan nyawa, tempat kemerdekaan yang baru seumur jagung diuji oleh gemuruh meriam. Tanggal Sepuluh November  bukanlah sekadar tanggal; ia adalah epos  yang tertulis dengan tinta darah, sumpah yang diikrarkan dalam kobaran api. Proklamasi 17 Agustus 1945 telah mengoyak tirai kegelapan, namun fajar kebebasan itu masih rapuh, diintai oleh bayangan masa lalu yang ingin kembali mencengkeram. Di sudut kota, di Hotel Yamato  yang angkuh, bendera tiga warna (Merah-Putih-Biru) kembali dikibarkan, seolah mencabik-cabik harga diri yang baru saja direngkuh. Tangan-tangan perkasa rakyat Surabaya tak sudi berdiam. Insiden heroik perobekan kain biru itu, menyisakan Merah dan Putih  yang berkibar gagah, adalah proklamasi kedua: bahwa ke...

Budaya Politik, dan Jalan Panjang Keadilan Sosial

Oleh Silahudin Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung MENJUAL HARAPAN  - KETIMPANGAN  di Indonesia tidak hanya terlihat dalam angka statistik,  melainkan  dalam praktik budaya politik sehari-hari. Akses terhadap layanan publik, representasi politik, hingga martabat sosial kerap bergantung pada siapa yang kita kenal, bukan pada hak yang seharusnya dijamin negara. Sering kali kita mengira bahwa politik hanyalah urusan partai, parlemen, atau pemilu. Padahal, politik juga hidup di ruang sehari-hari, dalam cara kita berinteraksi, dalam norma yang kita anggap wajar, bahkan dalam cara kita mendefinisikan siapa yang berhak mendapat keadilan.  Oleh karena itu, d i sinilah konsep kebudayaan politik menjadi penting ,  ia bukan sekadar “hiasan,” melainkan fondasi dari bagaimana masyarakat memahami dan memperjuangkan hak-haknya. Keadilan sosial, yang kita kenal sebagai sila kelima Pancasila, bukan hanya soal pembagian ekonomi yang merata. Filsuf politik Nancy Fra...

MPR RI Gaungkan Keadilan Sosial Lewat Sosialisasi 4 Konsensus Kebangsaan di Merauke

  MERAUKE, MENJUAL HARAPAN   — Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI kembali menggelar Sosialisasi 4 Konsensus Kebangsaan di Merauke, Papua Selatan, sebagai bagian dari upaya memperkuat nilai-nilai dasar berbangsa dan bernegara. Kegiatan yang berlangsung pada tahun 2025 ini menyoroti pentingnya pemahaman terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, dengan fokus khusus pada sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia . Sosialisasi ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari tokoh adat, kepala kampung, petani, hingga nelayan. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa MPR berkomitmen menyasar lapisan masyarakat akar rumput yang selama ini kurang terlibat dalam diskursus kebangsaan. Dalam forum tersebut, para peserta diajak berdialog langsung mengenai tantangan keadilan sosial di Papua Selatan. Infrastruktur yang terbatas, akses pendidikan dan kesehatan yang belum merata, serta ketimpangan ekonomi menjadi sorotan utama. “Keadilan sosial bukan...

Pancasila yang Terasing

MENJUAL HARAPAN - Pancasila   lahir sebagai kesepakatan luhur.  Ia bukan sekadar ideologi, t etapi kompas moral bangsa. Lima sila yang dirumuskan bukan hanya kata-kata, melainkan nilai-nilai yang harus hidup dalam setiap kebijakan, pelayanan, dan relasi sosial. Namun kini, Pancasila terasa asing. Dalam pidato-pidato resmi, Pancasila disebut dengan penuh hormat.  Namun dalam praktik, sila-sila itu tak tampak. Keadilan sosial tak terwujud, kemanusiaan dikalahkan oleh prosedur, dan musyawarah digantikan oleh keputusan sepihak. Pancasila menjadi retorika. Dalam cakap-cakap warga, acapkali terdengar “Kami tak tahu Pancasila itu untuk siapa.”  Mereka melihat ketimpangan, diskriminasi, dan pengabaian. Mereka tak merasa dilindungi, tak merasa diakui, dan tak merasa dihargai. Pancasila tak hadir dalam hidup mereka. Pancasila yang terasing adalah Pancasila yang tak berpihak.  Ia dipakai untuk membenarkan kekuasaan, bukan untuk melindungi warga. Ia dijadikan alat kontrol, ...

Simbol yang Kehilangan Makna

MENJUAL HARAPAN - Simbol   adalah bahasa yang tak bersuara.  Ia menyimpan makna, mengi kat ingatan, dan membentuk identitas. Namun, ketika simbol dipakai tanpa refleksi, ia berubah menjadi ornamen—indah dipandang, tetapi hampa dirasa. Garuda, merah-putih, Pancasila, lagu kebangsaan—semua merupakan  simbol yang diwariskan.  Mereka bukan sekadar lambang, tetapi janji. Janji tentang keberanian, tentang keadilan, tentang kebersamaan. Tapi janji itu kini terdengar samar. Dalam dialog dengan ragam warga sering berkata: “Kami hormat pada bendera, tapi negara tak pernah hormat pada kami.”  Kira-kira seperti substansinya.  Pernyataan ini menggugat relasi antara simbol dan realitas. Simbol diminta dihormati, tetapi tak memberi perlindungan. Simbol yang kehilangan makna adalah simbol yang tak lagi menyentuh kehidupan.  Ia hadir di dinding kantor, di seragam pejabat, di buku pelajaran , namun tidak hadir dalam pelayanan, dalam kebijakan, dalam relasi sosial. Simbo...

Sosialisasi 4 Konsensus Kebangsaan Menjawab Ancaman Judi Online

MERAUKE , MENJUAL HARAPAN   - Di   tengah gempuran teknologi digital yang kian tak terbendung, Balai Kampung Bokem, Distrik Merauke, Papua Selatan, menjadi ruang perlawanan moral. Pada 5 Agustus 2025, Anggota MPR/DPR RI Dapil Papua Selatan, H. Sulaeman L. Hamzah, menggelar Sosialisasi 4 Konsensus Kebangsaan ke-5 bersama tokoh adat, tokoh masyarakat, petani, dan nelayan. Kegiatan ini bukan sekadar rutinitas kenegaraan, melainkan dialog reflektif tentang nilai-nilai dasar bangsa di tengah ancaman judi online yang meresahkan. Di hadapan 150 peserta, Sulaeman membuka ruang diskusi secara  terbuka. Salah satu peserta menyampaikan keresahannya , yaitu : sindikat judi online telah menyusup ke lingkungan mereka, melibatkan anak muda dan menciptakan kekhawatiran akan kerusakan moral yang sistemik. Pertanyaan pun mengemuka , bagaimana negara dan masyarakat bisa bersinergi menghadapi ancaman digital yang tak mengenal batas? Menjawab itu, Sulaeman memaparkan regulasi yang telah diter...