Oleh Silahudin
MENJUAL HARAPAN - KETIMPANGAN di Indonesia tidak hanya terlihat dalam angka statistik, melainkan dalam praktik budaya politik sehari-hari. Akses terhadap layanan publik, representasi politik, hingga martabat sosial kerap bergantung pada siapa yang kita kenal, bukan pada hak yang seharusnya dijamin negara.
Sering kali kita mengira bahwa politik hanyalah urusan partai, parlemen, atau pemilu. Padahal, politik juga hidup di ruang sehari-hari, dalam cara kita berinteraksi, dalam norma yang kita anggap wajar, bahkan dalam cara kita mendefinisikan siapa yang berhak mendapat keadilan. Oleh karena itu, di sinilah konsep kebudayaan politik menjadi penting, ia bukan sekadar “hiasan,” melainkan fondasi dari bagaimana masyarakat memahami dan memperjuangkan hak-haknya.
Keadilan sosial, yang kita kenal sebagai sila kelima Pancasila, bukan hanya soal pembagian ekonomi yang merata. Filsuf politik Nancy Fraser menyebut ada dua sisi yang tak terpisahkan: redistribusi (pembagian sumber daya) dan pengakuan (penghargaan terhadap identitas dan martabat). Artinya, keadilan baru terasa utuh bila setiap orang mendapat akses ekonomi sekaligus dihargai tanpa stigma atau diskriminasi.
Amartya Sen, ekonom peraih Nobel, juga memperkaya pandangan ini. Menurut Amertya Sen, yang penting bukan hanya apa yang kita miliki, tetapi apa yang bisa kita lakukan dengan itu—capabilities atau kemampuan untuk menjalani hidup yang kita nilai berharga. Di Indonesia, banyak orang punya hak formal, tapi kemampuan nyata mereka dibatasi oleh norma sosial, stigma, atau struktur politik yang masih timpang.
Dalam realitas Indonesia dewasa ini, demokrasi pasca-Reformasi memang membuka ruang kebebasan yang luas. Namun, kita masih melihat bayang-bayang budaya politik lama, yaitu patronase, klienelisme, dan politik transaksional. Persoalannya, acapkali akses terhadap layanan publik bukan soal hak, melainkan soal kedekatan dengan jaringan politik. Di sinilah kebudayaan politik kita masih menyuburkan ketimpangan.
Oleh karena itu, ketidakadilan juga tidak hanya terlihat dalam angka ekonomi, tetapi dalam representasi sosial. Masih banyak kelompok masyarakat yang tersisih, baik karena latar belakang etnis, agama, gender, maupun status sosial. Misalnya, perempuan masih sering terhambat dalam akses politik, atau pekerjaan layak karena norma budaya yang bias. Padahal, tanpa pengakuan dan kesempatan yang setara, cita-cita keadilan sosial hanya menjadi slogan.
Di kota-kota besar, kita menyaksikan paradoks lain. Sebagian warga menikmati fasilitas modern, akses digital, dan jaringan luas. Sebaliknya, sebagian lain terpinggirkan di kantong-kantong kemiskinan perkotaan, terputus dari ruang partisipasi. Dalam konteks ini, Robert Putnam menyebut ini sebagai penurunan modal sosial atau melemahnya rasa percaya dan solidaritas antarwarga. Tanpa solidaritas, keadilan sosial sulit tumbuh.
Selain itu, media dan budaya populer ikut berperan besar. Televisi, film, hingga media sosial membentuk imajinasi kita tentang siapa yang “layak” dan siapa yang “tidak.” Ariel Heryanto pernah menulis bahwa layar budaya bisa menjadi ruang reproduksi hierarki, tetapi juga bisa menjadi panggung perlawanan simbolik. Artinya, keadilan sosial juga ditentukan oleh narasi, apa yang kita anggap normal, pantas, atau memalukan.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Pertama, kita perlu menyadari bahwa keadilan sosial tidak cukup dicapai lewat kebijakan ekonomi semata. Program redistribusi harus disertai perubahan budaya politik: mengikis patronase, memperkuat transparansi, dan membuka ruang partisipasi yang inklusif. Pemerintah perlu merancang kebijakan yang peka terhadap konteks sosial-budaya masyarakat.
Kedua, pendidikan politik warga menjadi kunci. Demokrasi tidak bisa hanya berhenti di bilik suara. Masyarakat perlu terus dibekali kesadaran kritis bahwa hak-hak sosial bukan pemberian penguasa, melainkan hak yang melekat sebagai warga negara. Kesadaran inilah yang dapat mematahkan pola relasi kuasa berbasis patron-klien.
Ketiga, ruang publik perlu diperkuat sebagai arena bersama. Media independen, organisasi masyarakat sipil, komunitas lokal, dan kampus memiliki peran penting untuk memperluas percakapan publik tentang keadilan sosial. Semakin banyak suara yang terwakili, semakin besar kemungkinan lahirnya kebijakan yang adil.
Dengan demikian, keadilan sosial merupakan pekerjaan panjang. Ia bukan hadiah yang turun dari atas, melainkan hasil perjuangan kolektif dari bawah. Kita membutuhkan transformasi kebudayaan politik—dari budaya transaksional menuju budaya partisipatif; dari eksklusi menuju inklusi; dari simbol kosong menuju makna yang hidup.
Sila kelima Pancasila menantang kita untuk menjadikannya nyata, bukan sekadar retorika. Dan itu hanya mungkin jika kebudayaan politik kita memberi ruang bagi semua orang, tanpa kecuali, untuk merasakan martabat, pengakuan, dan kesempatan yang sama. Seperti kata Bung Hatta, keadilan sosial bukan hanya tujuan negara, melainkan ukuran sejati kemerdekaan bangsa.*
*Silahudin, Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung
Komentar