Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpen

Jaringan Laba-Laba di Balik Tirai

Ilustrasi kongkalikong MENJUAL HARAPAN - Kota Gemilang, nama yang kontras dengan kenyataan di balik gemerlap lampunya. Di sana, Tirta, seorang jurnalis investigasi muda, merasa seperti terperangkap dalam jaring laba-laba. Bukan jaring biasa, melainkan simpul kongkalikong yang terjalin erat antara kekuatan penguasa dan pengusaha—mereka menyebutnya penguasaha. Tirta pertama kali mencium gelagat aneh saat meliput proyek pembangunan taman kota. Anggarannya fantastis, namun hasilnya jauh dari harapan. Ia mulai menyelidiki. Perlahan, satu per satu benang kusut terurai. Ada indikasi kuat persekongkolan dalam tender proyek, di mana hanya perusahaan tertentu yang selalu memenangkan kontrak, meskipun penawaran mereka tidak efisien. Yang lebih mengejutkan, Tirta menemukan adanya perselingkungan dalam ranah hukum. Beberapa hakim dan jaksa seolah menutup mata terhadap praktik-praktik ilegal yang dilakukan oleh para penguasa dan pengusaha ini. Bukti-bukti yang ia kumpulkan seringkali menguap di ten...

Nyanyian Sunyi di Ujung Kota

Ilustrasi kesenjangan MENJUAL HARAPAN - Di sudut kota yang ramai, tersembunyi sebuah permukiman padat yang dijuluki "Kampung Angin". Di sana, mimpi-mimpi terhalang oleh tembok kesenjangan  yang menjulang tinggi. Amir, seorang pemuda dengan mata tajam dan semangat membara, merasakan betul bagaimana impiannya terkekang. Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi seorang insinyur, namun akses pendidikan  berkualitas seperti jauh panggang dari api. Sekolah di Kampung Angin kekurangan fasilitas, dan guru-gurunya seringkali tak semangat. Ekonomi  di Kampung Angin berputar di lingkaran yang sama: buruh harian dengan upah minim. Sementara itu, di pusat kota, gedung-gedung pencakar langit menjulang, simbol kemewahan kaum oligarki  yang menggenggam erat roda politik . Mereka yang berkuasa, seolah tak acuh pada penderitaan di ujung kota. Keadilan  terasa seperti fatamorgana, sebuah kata indah yang hanya ada di buku-buku pelajaran. Amir sering duduk di bawah pohon beringin tua, m...

Suara Lembut di Balik Jendela

Ilustrasi praktik lancung (foto hasil tangkapan layar  serikatnews.com ) MENJUAL HARAPAN - Kantor Pak Dadun selalu sunyi, meskipun terletak di jantung kota yang riuh. Kesunyian itu bukan karena minimnya pekerjaan, melainkan karena minimnya suara yang berani menentang. Pak Dadun, seorang pejabat tinggi yang dihormati banyak orang, memiliki senyum menawan dan tutur kata lembut. Namun, di balik keramahannya, tersimpan bisikan-bisikan gelap yang hanya ia dan segelintir orang terdekatnya yang tahu. Rini, staf magang baru, adalah gadis polos yang idealis. Ia datang dengan semangat membara untuk berkontribusi pada bangsa. Hari-harinya di kantor Pak Dadun awalnya dipenuhi kekaguman. Betapa cekatan Pak Dadun memimpin rapat, betapa fasih ia berbicara tentang integritas. Tetapi, perlahan, Rini mulai merasakan ada yang ganjil. Ia melihat berkas-berkas penting menghilang tanpa jejak, proyek-proyek besar yang seharusnya transparan menjadi buram, dan dana-dana yang dialokasikan untuk kepentingan ...

Kisah Odyssey Sang Jati Diri

Ilustrasi sang jati diri (foto hasil tangkapan layar dari  leonardointeractive-com ) MENJUAL HARAPAN - Mentari menelusup tirai jendela kamar tua, membangunkan Raka dari mimpi-mimpi liarnya. Hari ini, ia akan memulai odiseinya sendiri. Bukan melintasi samudra biru seperti Ulysses dalam kisah klasik, melainkan menjelajahi labirin batinnya yang selama ini terkunci rapat. Raka selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Pekerjaan mapan, teman-teman yang ramah, bahkan keluarga yang menyayangi tak mampu mengisi kekosongan itu. Ia merasa seperti kapal tanpa tujuan, terombang-ambing di lautan rutinitas. Pagi itu, secarik kertas lusuh yang ia temukan di laci peninggalan kakeknya mengubah segalanya: "Temukan dirimu di dalam perjalanan, bukan di tujuan." Kalimat sederhana itu menusuk relung hati Raka. Ia memutuskan untuk cuti, meninggalkan hiruk pikuk kota, dan memulai perjalanan solo ke pedalaman. Bukan tempat wisata populer, melainkan desa-desa terpencil yang konon masih menjaga ke...

Kota Yang Mengalir Tanpa Diingat

MENJUAL HARAPAN - Pernahkah kamu membangun sesuatu, namun tidak diakui sebagai bagian darinya? Cerita ini tentang Ruma dan Numa, dua nama fiksi yang saya tulis dalam narasi berjudul "Kota yang Mengalir". Tetapi, kenyataan yang mereka alami bukan sekadar imajinasi. Mereka adalah wajah dari banyak orang di Indonesia: yang hidup dalam jaringan, bekerja untuk dunia, tapi tetap terasa tak punya tempat. Ruma lahir di desa dengan sinyal seperti musim. Ia belajar coding dari Wi-Fi kantor kelurahan dan laptop bekas. Kelak, ia jadi desainer antarmuka untuk startup di Singapura. Tapi di balik tiap proyek, ia tetap jadi "piksel tanpa tempat tinggal". Kota mengalir kepadanya, tapi tak memberinya alamat. Sementara itu, kota-kota besar, termasuk Ibu Kota baru—berlomba jadi "smart city". Gedung kaca, kabel optik, sensor, dan pusat data seolah jadi lambang masa depan. Tapi masa depan siapa? Di sinilah konsep "space of flows" dari Manuel Castells menjadi penting. ...

Sepiring Nasi di Ujung Senja

Ilustrasi Cerpen (ChatGPT Image) MENJUAL HARAPAN -  Di bawah langit kota yang berjelaga, berdirilah Warno dengan gerobak sotonya. Roda-roda tua itu, sudah lebih sering mengeluh daripada berjalan. Tapi seperti nasib, ia tak bisa memilih. Warno bukan pahlawan. Ia hanya lelaki kecil dari gang sempit yang meminjam dunia, berharap ada secercah rezeki di balik asap rebusan daging dan harapan. Tiap sore, ia mangkal di dekat kantor pemerintah. Tempat orang-orang berdasi keluar dengan langkah ringan dan perut kenyang. Ia menyendok soto seperti biasa, menyapa dengan senyum, meski hatinya remuk oleh angka-angka utang yang tak juga turun. Lalu datanglah bocah itu. Tubuhnya tinggal tulang, matanya lebih tajam dari pisau, bukan karena marah, tapi lapar yang mengguratkan luka. Ia berdiri diam. Memandang panci dengan tatapan seperti sedang menimbang dunia. "Sudah makan, Nak?" tanya Warno. Bocah itu tak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu mengangguk pelan. Tapi Warno tahu, bohong pun bisa jadi ...