Nyanyian Sunyi di Ujung Kota
![]() |
Ilustrasi kesenjangan |
MENJUAL HARAPAN - Di sudut kota yang ramai, tersembunyi sebuah permukiman padat yang dijuluki "Kampung Angin". Di sana, mimpi-mimpi terhalang oleh tembok kesenjangan yang menjulang tinggi. Amir, seorang pemuda dengan mata tajam dan semangat membara, merasakan betul bagaimana impiannya terkekang. Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi seorang insinyur, namun akses pendidikan berkualitas seperti jauh panggang dari api. Sekolah di Kampung Angin kekurangan fasilitas, dan guru-gurunya seringkali tak semangat.
Ekonomi di Kampung Angin berputar di lingkaran yang sama: buruh harian dengan upah minim. Sementara itu, di pusat kota, gedung-gedung pencakar langit menjulang, simbol kemewahan kaum oligarki yang menggenggam erat roda politik. Mereka yang berkuasa, seolah tak acuh pada penderitaan di ujung kota. Keadilan terasa seperti fatamorgana, sebuah kata indah yang hanya ada di buku-buku pelajaran.
Amir sering duduk di bawah pohon beringin tua, menyaksikan anak-anak kecil bermain dengan riang, tak peduli pada masa depan yang mungkin suram. Ia tahu, budaya gotong royong dan kebersamaan masih kental di kampungnya, tapi itu saja tidak cukup. Ia ingin melihat pemerataan kesempatan, agar setiap anak di Kampung Angin bisa bermimpi setinggi langit dan memiliki kesempatan yang sama untuk meraihnya.
Suatu hari, seorang mahasiswa dari kota datang untuk melakukan riset sosial. Ia terkejut melihat kondisi di Kampung Angin. Amir, dengan berani, menceritakan semua keresahannya. Ia berbicara tentang sulitnya akses pendidikan, tentang bagaimana kebijakan ekonomi hanya menguntungkan segelintir orang, dan bagaimana oligarki merangkul erat politik, membuat suara rakyat kecil tak terdengar.
Mahasiswa itu mendengarkan dengan saksama. Terinspirasi oleh semangat Amir, ia memutuskan untuk tidak hanya menulis laporan, tetapi juga membantu. Bersama Amir dan beberapa pemuda lainnya, mereka mulai menginisiasi program belajar tambahan untuk anak-anak di Kampung Angin, memanfaatkan ruang komunitas yang seadanya. Mereka juga mencoba mengadvokasi tentang pentingnya pemerataan akses dan keadilan di tingkat lokal.
Perjalanan itu tidak mudah. Mereka sering berhadapan dengan tembok birokrasi dan resistensi dari pihak-pihak yang merasa terancam. Akan tetapi, nyanyian sunyi di ujung kota kini mulai terdengar. Sedikit demi sedikit, cahaya harapan menyusup melalui celah-celah kesenjangan. Amir tahu, perjuangan masih panjang, walau ia percaya, dengan persatuan dan semangat, suatu hari nanti, keadilan dan pemerataan bukan lagi hanya mimpi, melainkan kenyataan yang dapat dinikmati oleh semua. (S_267)