Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label kesenjangan

Suara-suara di Bawah Tanah dan Getaran Perlawanan

    MENJUAL HARAPAN - Meskipun   di permukaan Kebun Raya Nusantara penuh dengan Topeng Pembangunan dan Lubang-lubang Kemiskinan, ada suara-suara lirih yang mulai terdengar dari bawah tanah. Suara-suara itu bukan berasal dari akar-akar hisap, melainkan dari "Para Cacing Tanah" dan "Para Tikus Got" yang selama ini hidup dalam kegelapan dan penderitaan. Mereka adalah suara-suara rakyat jelata yang selama ini terabaikan dan tertindas. Mereka mulai berbisik, berbagi cerita tentang ketidakadilan yang mereka alami, tentang kelaparan yang mereka rasakan, dan tentang harapan yang tak pernah padam. Mereka tahu siapa sebenarnya yang bekerja keras di bawah tanah, dan siapa yang hanya menikmati hasil keringat orang lain di permukaan. Bisikan-bisikan itu perlahan mulai membentuk sebuah getaran, getaran perlawanan yang mulai mengguncang fondasi Kebun Raya. Si Kecil, si semut pekerja, merasakan getaran itu. Ia mendekat, mencoba mendengarkan dengan seksama. Ia melihat kepedihan di m...

RAMPOK

  MENJUAL-HARAPAN - RAMPOK.  Sebuah kata yang merentang lebih dari sekadar aksi fisik. Di negeri khatulistiwa ini, ia menjelma bayangan, menari di setiap lini kehidupan, dari bilik kekuasaan hingga relung paling sunyi. Ia adalah bisikan iblis dalam hati manusia, resonansi kehampaan moral yang menggema di setiap sendi bangsa. Mari kita bedah "RAMPOK" dalam mozaik dimensi Indonesia, menelusuri jejak-jejaknya yang samar namun menghancurkan. Arang di Wajah Demokrasi Di panggung politik, RAMPOK  adalah bisikan janji palsu yang menggaung di balik dinding-dinding parlemen. Ia bukan sekadar tangan-tangan tak kasat mata yang merogoh kas negara, melainkan virus korupsi  yang menyusup ke inti saraf pemerintahan, mengubah setiap idealisme menjadi racun, setiap amanah menjadi tumpukan arang. Demokrasi yang seharusnya menjadi taman keadilan, kini kering kerontang, ditinggalkan oleh embun nurani yang telah lama mengering. Ia adalah topeng-topeng gagah yang di baliknya menyembu...

Suara-suara di Balik Tirai

Ilustrasi "suara-suara di balik tirai" sesi 7 dari "Dagelan Politik" MENJUAL HARAPAN - Meskipun panggung utama dipenuhi riuh rendah drama dan sandiwara, ada suara-suara lirih yang mulai terdengar dari balik tirai. Suara-suara itu bukan berasal dari Para Dalang Sesungguhnya, bukan pula dari Para Pengatur Irama, melainkan dari para pekerja panggung, para penata lampu, para pembuat properti, dan bahkan para petugas kebersihan yang setiap hari membersihkan sisa-sisa kegaduhan di panggung. Mereka adalah suara-suara rakyat biasa yang selama ini terabaikan. Mereka mulai berbisik, berbagi keluh kesah dan kekecewaan. Mereka melihat langsung bagaimana panggung ini diatur, bagaimana cerita ini direkayasa, dan bagaimana nasib mereka dimainkan begitu saja. Mereka tahu siapa sebenarnya yang bekerja keras di belakang layar, dan siapa yang hanya berpura-pura bekerja di depan panggung. Bisikan-bisikan itu perlahan mulai membentuk sebuah paduan suara, meski masih samar. “Mereka tahu ...

Nyanyian Sunyi di Ujung Kota

Ilustrasi kesenjangan MENJUAL HARAPAN - Di sudut kota yang ramai, tersembunyi sebuah permukiman padat yang dijuluki "Kampung Angin". Di sana, mimpi-mimpi terhalang oleh tembok kesenjangan  yang menjulang tinggi. Amir, seorang pemuda dengan mata tajam dan semangat membara, merasakan betul bagaimana impiannya terkekang. Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi seorang insinyur, namun akses pendidikan  berkualitas seperti jauh panggang dari api. Sekolah di Kampung Angin kekurangan fasilitas, dan guru-gurunya seringkali tak semangat. Ekonomi  di Kampung Angin berputar di lingkaran yang sama: buruh harian dengan upah minim. Sementara itu, di pusat kota, gedung-gedung pencakar langit menjulang, simbol kemewahan kaum oligarki  yang menggenggam erat roda politik . Mereka yang berkuasa, seolah tak acuh pada penderitaan di ujung kota. Keadilan  terasa seperti fatamorgana, sebuah kata indah yang hanya ada di buku-buku pelajaran. Amir sering duduk di bawah pohon beringin tua, m...

Menyoal Energi Bangsa

Ilustrasi energi (foto hasil tangkapan layar dari gramedia.com) Oleh Silahudin ROBOHNYA rezim Soeharto pada bulan Mei 1998, tampak belum membawa pada penyelenggaraan kehidupan politik negara bangsa yang kondusif. Salah guna pemerintahan dalam menata tatanan negara bangsa ini, terutama tata pemerintahan yang baik (good governance) masih jauh dari harapan, bahkan yang dirasakan dan menjadi tontonan justru akrobatik politik elit politik dalam memperebutkan kekuasaan. Kenyataan dalam kehidupan politik negara bangsa dengan membangun Indonesia yang demokratis, acapkaki terjebak egoisme politik masing-masing.   Dalam bahasa lain, politik mengurus “dapur sendiri” terus-menerus menonjol menjadi tontonan di negeri ini. Sehingga keberadaannya pada lembaga-lembaga negara, baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif belum menyentuh kepentingan publik, namun yang mencolok mereka elit politik “sibuk” melayani diri sendiri untuk kepentingan kelompoknya. Propaganda politik untuk memertahankan akses...
Merancang Ulang Kebijakan Perberasan Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat   TAHUN 2015 segera ber lalu. Ini saatnya melakukan evaluasi.Salah satu yang bisa dievaluasi ialah pengadaan gabah/beras dalam negeri oleh Bulog. Per 16 Desember 2015, pengadaan Bulog mencapai 1,96 juta ton setara beras. Sampai akhir tahun ini diperkirakan pengadaan beras Bulog maksimal hanya 2 juta ton, 0,9 juta ton di antaranya disumbang beras premium. Pengadaan ini di bawah dari target internal 2,7 juta ton, apalagi target pemerintah sebesar 4 juta ton. Sejak awal tahun muncul keraguan Bulog bisa menyerap gabah dan beras dalam jumlah besar. Inpres Perberasan yang digadang-gadang menjadi stimulan tidak hanya telat dirilis, diktum-diktum di dalamnya juga mandul. Inpres Perberasan terakhir, Inpres No 5/2015, menggantikan Inpres No 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/ Beras dan Penyaluran Beras oleh ...