Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label renungan

Narasi yang Dikuasai Negara

MENJUAL HARAPAN - Setiap bangsa hidup dari narasi.  Ia adalah benang yang merajut identitas, m embentuk ingatan, dan menentukan arah. Namun, ketika narasi hanya dimiliki oleh negara, maka yang lahir bukan kebangsaan, melainkan penghapusan. Warga tak lagi punya ruang untuk bercerita. Narasi resmi sering kali dibentuk dari atas.  Ia ditulis dalam buku pelajaran, disampaikan dalam pidato, dan diputar dalam media. Tokoh-tokoh dipilih, peristiwa diseleksi, dan makna ditentukan. Sejarah menjadi milik negara, bukan milik rakyat. Narasi yang dikuasai negara juga membentuk cara kita memahami masa lalu.  Perlawanan dianggap gangguan, kritik dianggap ancaman, dan keragaman dianggap penyimpangan. Sejarah disederhanakan, kompleksitas dihapuskan, dan luka disembunyikan. Dalam refleksi filosofis, narasi adalah ruang perebutan makna.  Ia bukan hanya soal cerita, tetapi soal siapa yang berhak bicara. Ketika negara memonopoli narasi, maka warga kehilangan suara. Demokrasi menjadi suny...

Hukum yang Gagap Bahasa Rakyat

  MENJUAL HARAPAN - Hukum, dalam idealnya, adalah bahasa keadilan.  Ia seharusnya bisa dipahami oleh semua, menja di pelindung yang adil, dan menjadi alat pembebasan. Akan tetapi, dalam realitas praktiknya, hukum sering kali berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti rakyat , bahasa teknokratis, formal, dan jauh dari pengalaman sehari-hari. Warga sering kali merasa asing di hadapan hukum.  Mereka tak tahu prosedur, tak paham istilah, dan tak punya akses. Ketika mereka mencoba bicara, hukum tak mendengar. Ketika mereka meminta perlindungan, hukum justru menghakimi. Bahasa hukum menjadi tembok, bukan jembatan. Dalam dialog komunitas, muncul keluhan: “Kami tak tahu bagaimana membela diri.”  Ini bukan soal ketidaktahuan, tetapi soal sistem yang tak inklusif. Hukum dirancang untuk mereka yang punya kuasa, bukan untuk mereka yang tertindas. Ia menjadi alat eksklusi. Hukum yang gagap adalah hukum yang tak mampu menangkap kompleksitas realitas.  Ia terlalu kaku, terla...

Pintu Gerbang - Sesi 1: Malam yang Menggugah Kalender

Muhasabah Historis — Hijrah sebagai Titik Mula Kesadaran Kolektif “Ada malam yang tak sekadar gelap, tapi mengandung jalan. Ada waktu yang tak sekadar berlalu, tapi memanggil untuk berpindah arah.” MENJUAL HARAPAN - Langit Bandung malam itu tidak riuh, tapi penuh isyarat. Hilal Muharram 1447 Hijriah menggantung di atas kota yang terus menggigil antara ingatan dan penyangkalan. Di ruang kelas tua Fakultas Ilmu Sosial, seorang dosen berambut perak menyalakan proyektor dengan suara klik yang nyaris mirip detik jam. “Ini bukan sejarah,” katanya perlahan. “Ini adalah pintu gerbang .” Ia menatap wajah-wajah muda di hadapannya, sebagian penulis alternatif, sebagian aktivis komunitas, sebagian hanya pencari makna yang tak puas dengan kotak-kotak akademik. Slide demi slide muncul: jejak hijrah Nabi SAW dalam garis-garis pasir, potongan Piagam Madinah yang telah dilupakan dalam buku teks, dan kalimat samar: “Berpindah bukan sekadar pergi. Berpindah adalah berpihak.” Seketika ruangan itu menjadi ...