Pintu Gerbang - Sesi 1: Malam yang Menggugah Kalender
Muhasabah Historis — Hijrah sebagai Titik Mula Kesadaran Kolektif
MENJUAL HARAPAN - Langit Bandung malam itu tidak riuh, tapi penuh isyarat. Hilal Muharram 1447 Hijriah menggantung di atas kota yang terus menggigil antara ingatan dan penyangkalan. Di ruang kelas tua Fakultas Ilmu Sosial, seorang dosen berambut perak menyalakan proyektor dengan suara klik yang nyaris mirip detik jam.
“Ini bukan sejarah,” katanya perlahan. “Ini adalah pintu gerbang.”
Ia menatap wajah-wajah muda di hadapannya, sebagian penulis alternatif, sebagian aktivis komunitas, sebagian hanya pencari makna yang tak puas dengan kotak-kotak akademik.
Slide demi slide muncul: jejak hijrah Nabi SAW dalam garis-garis pasir, potongan Piagam Madinah yang telah dilupakan dalam buku teks, dan kalimat samar: “Berpindah bukan sekadar pergi. Berpindah adalah berpihak.”
Seketika ruangan itu menjadi lebih sunyi dari luar. Di sana, tiga jiwa muda mulai mengaitkan benang merah hidup mereka dengan spirit hijrah:
· Satu menulis pamflet tentang krisis etika dalam birokrasi.
· Satu lainnya sedang menyusun gugatan terhadap investasi tambang di tanah adat.
· Dan satu lagi, diam-diam, menyusun buku saku kecil bertajuk “Madinah: Gagasan yang Ditunda”.
Malam itu mereka tak membuat keputusan besar. Tapi mereka tahu: tahun baru ini bukan catatan kalender biasa—ia adalah undangan untuk memasuki pintu yang telah lama terbuka, tapi jarang disadari. Pintu bernama keberanian. (Silahudin)
Cerita bersambung (cerber) "Pintu Gerbang" ini terdiri dari 4 sesi
Sesi 1: Malam yang Menggugah Kalender
Sesi 2: Di Antara Jalan Sunyi dan Padang Kekuasaan
Sesi 3: Piagam di Tengah Padang Retak
Sesi 4: Hijrah yang Belum Usai