Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label hukum

Ketika Meja Makan Menjadi Ladang

MENJUAL HARAPAN - "Lihatlah, Paman," bisik Si Penjaga Pintu, matanya tak lepas dari sebuah bangunan megah yang menjulang di tengah alun-alun. "Para juru masak sudah bekerja berbulan-bulan. Aroma harumnya sampai ke sudut-sudut desa. Kabarnya, ini adalah jamuan agung yang disiapkan untuk seluruh rakyat." Si Pengamat, yang duduk di bangku batu dekatnya, mengangguk perlahan. "Benar. Dinding-dindingnya dilapisi emas. Meja-mejanya terbuat dari kayu jati. Tapi yang terpenting, jamuan ini didanai dari sumbangan kita semua. Setiap tetes keringat kita." "Jadi, kita semua akan diundang?" tanya Si Penjaga Pintu penuh harap. "Kita bisa makan sepuasnya, mengambil apa yang kita inginkan?" "Begitulah yang dijanjikan," jawab Si Pengamat, suaranya mengandung nada skeptis. "Jamuan ini seharusnya merata, tak ada yang kelaparan saat hidangan sudah siap." Pintu kayu jati itu terbuka perlahan, tapi bukan untuk semua. Hanya beberapa orang t...

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

Jaring-jaring Laba-laba dan Mangsa yang Terjerat

  MENJUAL HARAPAN  - Di   atas Kebun Raya Nusantara, mulai terbentang jaring-jaring laba-laba raksasa. Jaring-jaring ini bukan terbuat dari benang sutra biasa, melainkan dari "Benang Hutang" dan "Benang Aturan". Para Penguasaha adalah laba-laba raksasa yang dengan lihai menenun jaring-jaring ini, menjerat setiap penghuni Kebun Raya yang mencoba bergerak bebas. Sekali terjerat, sulit sekali untuk melepaskan diri. Setiap benang hutang memiliki daya tarik yang kuat. Para Petani Kecil yang kesulitan mencari nafkah, seringkali tergoda untuk meminjam uang dari Para Penguasaha, dengan harapan bisa memulai hidup baru. Namun, setiap pinjaman datang dengan bunga yang mencekik, dan setiap bunga akan melahirkan benang hutang baru yang semakin kuat, semakin menjerat mereka dalam lingkaran setan. Si Kecil, si semut pekerja, melihat bagaimana banyak kawanan semut lain yang terjerat dalam jaring-jaring ini. Mereka yang dulunya bebas bergerak, kini terikat erat, tak bisa ke mana-man...

17+8 Tuntutan Rakyat yang Menggugat Nurani Bangsa

MENJUAL HARAPAN  - Fenomena   “17+8 Tuntutan Rakyat” yang merebak di Indonesia sejak akhir Agustus 2025 ,  merupakan ekspresi kolektif dari keresahan publik terhadap akumulasi ketidakadilan sosial, ketimpangan politik, dan lemahnya akuntabilitas institusi negara. Angka 17+8 bukan sekadar simbol matematis, melainkan representasi dari 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang yang dirumuskan oleh masyarakat sipil, aktivis, dan influencer lintas sektor. Gerakan ini lahir dari momentum demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh isu kenaikan tunjangan DPR, kekerasan aparat, dan kematian tragis Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang dilindas kendaraan taktis Brimob. (Lihat:  detik.com ,  dw.com ). Secara substansi, 17 tuntutan jangka pendek menyoroti isu-isu mendesak seperti transparansi anggaran DPR, penghentian kekerasan aparat, pembebasan demonstran, dan penegakan disiplin institusi keamanan. Sementara 8 tuntutan jangka panjang mengarah p...

RAMPOK

  MENJUAL-HARAPAN - RAMPOK.  Sebuah kata yang merentang lebih dari sekadar aksi fisik. Di negeri khatulistiwa ini, ia menjelma bayangan, menari di setiap lini kehidupan, dari bilik kekuasaan hingga relung paling sunyi. Ia adalah bisikan iblis dalam hati manusia, resonansi kehampaan moral yang menggema di setiap sendi bangsa. Mari kita bedah "RAMPOK" dalam mozaik dimensi Indonesia, menelusuri jejak-jejaknya yang samar namun menghancurkan. Arang di Wajah Demokrasi Di panggung politik, RAMPOK  adalah bisikan janji palsu yang menggaung di balik dinding-dinding parlemen. Ia bukan sekadar tangan-tangan tak kasat mata yang merogoh kas negara, melainkan virus korupsi  yang menyusup ke inti saraf pemerintahan, mengubah setiap idealisme menjadi racun, setiap amanah menjadi tumpukan arang. Demokrasi yang seharusnya menjadi taman keadilan, kini kering kerontang, ditinggalkan oleh embun nurani yang telah lama mengering. Ia adalah topeng-topeng gagah yang di baliknya menyembu...

Tragedi Pejompongan, Nyawa Ojol di Tengah Gas Air Mata

Foto hasil tangkapan layar dari  tempo.co “ Kisah benturan demonstrasi 28 Agustus 2025 yang berujung maut, membuka luka relasi antara warga dan aparat ” MENJUAL HARAPAN - Ba’da magrib, Kamis, 28 Agustus 2025, riuh ribuan massa di sekitar DPR/MPR RI belum benar-benar reda. Di koridor Pejompongan—tanah genting antara Senayan dan Tanah Abang—lampu strobo menyapu jalanan yang penuh serpihan spanduk, botol air, dan sisa gas air mata. Di tengah kepungan itu, sebuah rantis bertanda “BRIMOB” menerobos arus manusia. Detik berikutnya menjadi tragis: seorang pengemudi ojek online (ojol) terserempet, jatuh, dan terlindas. “Mobil tidak berhenti, melainkan terus maju,” kata seorang saksi dalam kesaksian yang beredar malam itu. Peristiwa tersebut memantik gelombang murka publik, terutama komunitas ojol yang merasa “satu jaket, satu nasib.” (lihat:  liputan6.com ,  detik.com ).   Kronologi versi lapangan menggambarkan momen kejar-kejaran aparat mendorong massa dari Jalan Pejomponga...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Reformasi Hukum & Tata Kelola Negara: Harapan Keadilan dan Risiko Oligarki

  Presiden Prabowo Subianto, di dalam Sidang Tahunan MPR RI, 15/8/2025 (Foto tangkapan layar dari Kompas.id) MENJUAL HARAPAN - Reformasi hukum dan tata kelola negara dengan enak, dan tidak seenaknya, itulah pesan substansial dalam pidato Presiden Prabowo Subianto di dalam Sidang Tahunan MPR (15/8/2025).  Presiden Prabowo menekankan pentingnya reformasi hukum dan tata kelola negara , dengan menyoroti penegakan hukum terhadap korporasi nakal, peningkatan gaji hakim, penertiban lahan sawit ilegal, dan memberikan apresiasi terhadap kinerja lembaga tinggi negara. Sekilas, agenda ini tampak sebagai wujud komitmen negara untuk memperkuat rule of law , dan menegakkan tata kelola yang transparan. Dalam optik sosiologi politik, agenda ini menyimpan dimensi yang lebih kompleks, yaitu: hukum bukan hanya instrumen keadilan, tetapi juga alat legitimasi dan kontrol negara terhadap masyarakat. Penegakan hukum terhadap korporasi nakal , terutama dalam kasus penyalahgunaan lahan sawit ileg...

Keadilan Yang Tak Berwajah

Refleksi Kemerdekaan RI ke-80 MENJUAL HARAPAN - Keadilan adalah wajah yang seharusnya paling dikenali dari negara.  Ia adalah janji yang tertulis dalam konstitusi, nilai yang dijunjung dalam Pancasila, dan harapan yang hidup dalam hati warga. Namun, dalam kenyataan hari ini, keadilan tak punya wajah—ia tak tampak, tak terasa, dan tak berpihak. Warga sering bertanya: “Di mana keadilan itu?”  Mereka melihat koruptor tersenyum di televisi, sementara pencuri ayam dihukum berat. Mereka melihat tanah mereka diambil tanpa musyawarah, pelayanan publik yang diskriminatif, dan hukum yang tak menyentuh elite. Keadilan menjadi ilusi. Keadilan yang tak berwajah adalah keadilan yang tak bisa dikenali.  Ia hadir dalam pidato, tetapi absen dalam praktik. Ia disebut dalam dokumen, tetapi tak hidup dalam pelayanan. Ia menjadi kata-kata, bukan tindakan. Dalam refleksi filosofis, keadilan adalah relasi yang adil.  Ia bukan hanya soal distribusi, tetapi soal pengakuan, partisipasi, dan k...

Demokrasi Tanpa Demos

MENJUAL HARAPAN - Demokrasi   lahir dari gagasan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat.  Ia a dalah janji bahwa setiap suara berarti, setiap warga berhak menentukan arah, dan setiap keputusan harus lahir dari partisipasi. Namun, ketika demos - rakyat   dihilangkan, demokrasi menjadi kulit tanpa isi. Dalam praktik politik hari ini, demokrasi sering kali hanya berarti pemilu.  Warga diminta memilih, tetapi tak pernah diajak bicara. Mereka diberi hak suara, tetapi tak diberi ruang tafsir. Demokrasi menjadi ritual lima tahunan, bukan proses harian. Dalam obrol-obrol dengan warga masyarakat, sering berkata: “Kami hanya dibutuhkan saat kampanye.”  Setelah itu, suara mereka tak lagi didengar, kebutuhan mereka tak lagi diprioritaskan, dan keberadaan mereka tak lagi diakui. Demokrasi menjadi mobilisasi, bukan partisipasi. Demokrasi tanpa demos juga tampak dalam sistem representasi.  Wakil rakyat tak lagi mewakili, partai politik tak lagi mendengar, dan parlemen menjad...