HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Reformasi Hukum & Tata Kelola Negara: Harapan Keadilan dan Risiko Oligarki

 

Presiden Prabowo Subianto, di dalam Sidang Tahunan MPR RI, 15/8/2025 (Foto tangkapan layar dari Kompas.id)

MENJUAL HARAPAN - Reformasi hukum dan tata kelola negara dengan enak, dan tidak seenaknya, itulah pesan substansial dalam pidato Presiden Prabowo Subianto di dalam Sidang Tahunan MPR (15/8/2025). 

Presiden Prabowo menekankan pentingnya reformasi hukum dan tata kelola negara, dengan menyoroti penegakan hukum terhadap korporasi nakal, peningkatan gaji hakim, penertiban lahan sawit ilegal, dan memberikan apresiasi terhadap kinerja lembaga tinggi negara.

Sekilas, agenda ini tampak sebagai wujud komitmen negara untuk memperkuat rule of law, dan menegakkan tata kelola yang transparan. Dalam optik sosiologi politik, agenda ini menyimpan dimensi yang lebih kompleks, yaitu: hukum bukan hanya instrumen keadilan, tetapi juga alat legitimasi dan kontrol negara terhadap masyarakat.

Penegakan hukum terhadap korporasi nakal, terutama dalam kasus penyalahgunaan lahan sawit ilegal, mencerminkan upaya negara merebut kembali otoritas atas sumber daya strategis. Persoalannya, konsistensi, apakah hukum benar-benar akan menyentuh korporasi besar yang berkelindan dengan elit politik, atau hanya berhenti pada aktor kecil dan menengah? Masyarakat akan menilai integritas negara bukan hanya dari pidato, melainkan dari keberanian menindak aktor-aktor ekonomi kuat yang selama ini kebal hukum.

Peningkatan gaji hakim, memang menjadi strategi penting untuk memperkuat integritas peradilan. Teori ekonomi politik hukum menegaskan bahwa remunerasi yang layak dapat menekan insentif korupsi (Treisman, 2000). Namun, dalam optik sosiologi politik rakyat, gaji tinggi tidak otomatis membangun kepercayaan publik. Kepercayaan akan lahir jika peningkatan gaji dibarengi dengan transparansi, independensi, dan konsistensi putusan hukum. Jika tidak, masyarakat akan memandang reformasi ini sebagai sekadar “subsidi elit peradilan” yang tidak menyentuh akar ketidakadilan di lapangan.

Begitu juga dengan program penertiban lahan sawit ilegal, menjadi sorotan. Bagi negara, ini merupakan wujud penguasaan atas ruang hidup strategis, dan bagi masyarakat, terutama komunitas adat dan petani kecil, ini adalah soal hak atas tanah dan keadilan agraria. Pelanggaran tata kelola lahan sering melibatkan aktor berjejaring dengan birokrasi, sehingga sulit disentuh hukum. Dalam bahasa Peluso dan Vandergeest (2011), politik agraria di Asia Tenggara kerap memperlihatkan bagaimana negara dan korporasi bekerja sama dalam enclosure tanah, yang justru meminggirkan masyarakat lokal. Oleh karena itu, reformasi hukum di sektor sawit hanya akan bermakna, bilamana benar-benar berpihak pada masyarakat akar rumput, bukan sekadar formalitas hukum yang menyingkirkan mereka.

Dalam pidatonya juga, apresiasi Presiden kepada lembaga tinggi negara (MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, dll.), perlu dibaca dengan kritis. Dalam bingkai sosiologi politik negara, ini dapat dimaknai sebagai upaya membangun harmoni antar-lembaga untuk stabilitas politik.

Akan tetapi, bagi masyarakat, apresiasi tanpa kritik berisiko menimbulkan kesan elite pact-sebuah persekutuan elit politik yang saling melindungi, meskipun kinerja lembaga-lembaga itu sering dipertanyakan publik. Pinjam bahasa Habermas (1975) mengingatkan adanya legitimation crisis, ketika masyarakat meragukan apakah institusi negara benar-benar bekerja untuk kepentingan publik atau hanya untuk kepentingan internal elit.

Jadi, refleksi substansinya, agenda reformasi hukum, dan tata kelola negara dalam pidato ini merupakan medan tarik-menarik antara idealisme keadilan dan realitas oligarki. Negara berupaya tampil sebagai pelindung rakyat dari ketidakadilan hukum dan eksploitasi sumber daya. Keberhasilan agenda ini akan sangat ditentukan oleh konsistensi penegakan hukum terhadap elit dan korporasi besar, serta transparansi lembaga-lembaga tinggi negara dalam mengemban mandat publik.

Tanpa itu, reformasi hanya akan menjadi retorika legitimasi, tetapi tidak mengubah pengalaman nyata rakyat terhadap hukum yang timpang. (Silahudin, Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung)

Tutup Iklan