Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label kota

Kota yang Menelan Desa

MENJUAL HARAPAN -- Kota   tumbuh, desa menyusut.  Di balik gemerlap gedung, jalan tol, dan pusat perbelanjaan, ada jejak-jejak desa yang hilang -- tanah   yang digusur, sawah yang dikeringkan, dan komunitas yang dipindahkan. Kota tak sekadar berkembang, ia menelan. Urbanisasi seringkali dianggap kemajuan.  Namun, dalam praktiknya, ia adalah proses pemusnahan ruang hidup lokal. Desa tak lagi dilihat sebagai sumber kehidupan, tetapi sebagai lahan kosong yang siap diubah. Pembangunan menjadi penghapusan. Desa, bukan sekedar objek proyek, yang hanya diminta menerima. Tidak diajak bicara. Kota yang menelan desa juga berarti hilangnya pengetahuan lokal.  Sistem pertanian tradisional, ritual komunitas, dan relasi ekologis digantikan oleh logika produksi. Pengetahuan yang diwariskan turun-temurun dianggap usang, tak ilmiah, tak relevan. Dalam refleksi filosofis, desa adalah ruang kontemplatif.  Ia bukan hanya tempat tinggal, tetapi tempat tumbuhnya nilai, relasi, d...

Kota Yang Mengalir Tanpa Diingat

MENJUAL HARAPAN - Pernahkah kamu membangun sesuatu, namun tidak diakui sebagai bagian darinya? Cerita ini tentang Ruma dan Numa, dua nama fiksi yang saya tulis dalam narasi berjudul "Kota yang Mengalir". Tetapi, kenyataan yang mereka alami bukan sekadar imajinasi. Mereka adalah wajah dari banyak orang di Indonesia: yang hidup dalam jaringan, bekerja untuk dunia, tapi tetap terasa tak punya tempat. Ruma lahir di desa dengan sinyal seperti musim. Ia belajar coding dari Wi-Fi kantor kelurahan dan laptop bekas. Kelak, ia jadi desainer antarmuka untuk startup di Singapura. Tapi di balik tiap proyek, ia tetap jadi "piksel tanpa tempat tinggal". Kota mengalir kepadanya, tapi tak memberinya alamat. Sementara itu, kota-kota besar, termasuk Ibu Kota baru—berlomba jadi "smart city". Gedung kaca, kabel optik, sensor, dan pusat data seolah jadi lambang masa depan. Tapi masa depan siapa? Di sinilah konsep "space of flows" dari Manuel Castells menjadi penting. ...

Kesenjangan Persepsi Pembangunan Perkotaan

Ilustrasi Pembangunan Oleh Silahudin PEMBANGUNAN sesungguhnya merupakan never ending process (proses yang tak pernah berakhir), kendati Orde Baru telah gagal mempertahankan kesinambungan (sustainability) dalam pembangunan. Bahkan ada yang mengatakan perjalanan pembangunan selama tiga dasawarsa lebih berujung kepada "Dead-end" (akhir yang mematikan/mengalami jalan buntu), karena memang, Orde Baru menjadi monolitik dan otoriter secara politik, begiotupun ekonomi dikuasai segelintir pelaku bisnis, yang akibatnya kesenjangan sosial dan ekonomi yang menganga tak bisa dielakksan. Pertumbuhan ekonomi yang cepat, tampaknya telah menjadi "ideologisasi" rezim selama tiga dasawarsa lebih yang menuntut adanya penyeragaman dalam pembangunan, seperti misalnya desa di seluruh Indonesia diseragamkan (unifikasi) tata cara pengelolaan dan penamaannya. Padahal, kalau kita akui secara jujur, bahwa penyeragaman (unifikasi) menjadi tidak terpat, karena selain mengingkari falsaf...