Langsung ke konten utama

Kota yang Menelan Desa



MENJUAL HARAPAN -- Kota tumbuh, desa menyusut. Di balik gemerlap gedung, jalan tol, dan pusat perbelanjaan, ada jejak-jejak desa yang hilang--tanah yang digusur, sawah yang dikeringkan, dan komunitas yang dipindahkan. Kota tak sekadar berkembang, ia menelan.

Urbanisasi seringkali dianggap kemajuan. Namun, dalam praktiknya, ia adalah proses pemusnahan ruang hidup lokal. Desa tak lagi dilihat sebagai sumber kehidupan, tetapi sebagai lahan kosong yang siap diubah. Pembangunan menjadi penghapusan.

Desa, bukan sekedar objek proyek, yang hanya diminta menerima. Tidak diajak bicara.

Kota yang menelan desa juga berarti hilangnya pengetahuan lokal. Sistem pertanian tradisional, ritual komunitas, dan relasi ekologis digantikan oleh logika produksi. Pengetahuan yang diwariskan turun-temurun dianggap usang, tak ilmiah, tak relevan.

Dalam refleksi filosofis, desa adalah ruang kontemplatif. Ia bukan hanya tempat tinggal, tetapi tempat tumbuhnya nilai, relasi, dan makna. Ketika desa diubah menjadi kota, maka kita kehilangan ruang refleksi. Kehidupan menjadi tergesa.

Kota juga mengubah relasi sosial. Di desa, tetangga adalah keluarga. Di kota, tetangga adalah orang asing. Solidaritas digantikan oleh privatisasi, kebersamaan digantikan oleh kompetisi. Kota menciptakan jarak.

Pembangunan kota sering kali tak mengenal sejarah. Nama-nama kampung dihapus, jejak-jejak komunitas dilupakan, dan cerita lokal tak diabadikan. Kota dibangun di atas amnesia. Identitas menjadi generik.

Dalam sistem kebijakan, desa sering kali dianggap beban. Ia harus “dipercepat,” “ditingkatkan,” atau “diintegrasikan.” Padahal, desa punya ritme sendiri, punya logika sendiri, dan punya nilai sendiri. Kebijakan tak boleh seragam.

Kota juga menciptakan ketimpangan spasial. Akses layanan, pendidikan, dan kesehatan lebih tersedia di kota. Warga desa harus berpindah, meninggalkan akar, dan menyesuaikan diri. Mobilitas menjadi syarat bertahan.

Dalam pelayanan publik, desa sering kali tertinggal. Infrastruktur digital lambat, petugas minim, dan program tak sesuai konteks. Digitalisasi tak menyentuh desa, hanya menghiasi kota. Pelayanan menjadi eksklusif.

Namun, desa bukan ruang pasif. Ia punya kekuatan, punya pengetahuan, dan punya komunitas. Desa bisa menjadi ruang inovasi, ruang advokasi, dan ruang transformasi. Tapi ia harus diberi ruang bicara.

Desa, laboratorium kebijakan yang kontekstual, bisa menjadi jembatan antara kota dan desa. Di sana, kebijakan bisa diuji secara kontekstual, pengetahuan lokal bisa divalidasi, dan relasi bisa dibangun ulang. Kota tak lagi menelan, tetapi berdialog.

Dalam pendekatan visual, desa bisa diangkat sebagai ruang hidup. Peta partisipatif, narasi ilustratif, dan booklet komunitas bisa menjadi alat advokasi. Visual bukan hanya untuk kota, tetapi untuk desa yang berakar.

Desa juga harus masuk dalam kurikulum pendidikan. Anak-anak harus belajar tentang pertanian, tentang relasi ekologis, dan tentang solidaritas komunitas. Pendidikan harus membentuk kesadaran spasial, bukan hanya urban.

Kota yang adil adalah kota yang mengenali desa. Yang tak hanya membangun gedung, tetapi juga merawat akar. Yang tak hanya bicara efisiensi, tetapi juga keberlanjutan. Kota harus belajar dari desa.

Dan (mungkin), pembangunan yang bermakna adalah ketika warga desa bisa berkata: “Kami tumbuh, bukan digusur.” Ketika mereka bisa memilih, bisa bicara, dan bisa menentukan arah. Pembangunan harus berpihak.

Episode ini, merupakan ajakan untuk menghentikan penelanan. Agar kota tak lagi menjadi mesin penghapus, agar desa tak lagi menjadi korban, dan agar pembangunan menjadi ruang hidup bersama. Karena negeri ini tak hanya kota—ia juga desa yang berakar. (Serie -11 dari “Refleksi Kemerdekaan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...