Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label nasionalisme

Di Balik Senja Merah 10 November: Menafsirkan Ksatria Baru di Era Tembok Sunyi

  MENJUAL HARAPAN - Hari Pahlawan, 10 November, merupakan penanda krusial dalam kalender bangsa—titik di mana narasi kebangsaan mencapai klimaksnya dalam darah dan keberanian kolektif. Akan tetapi, lebih dari sekadar ritual upacara dan tabur bunga, Hari Pahlawan menuntut sebuah dialog epistemologis: Siapakah pahlawan kita hari ini? Jika pada 1945 pertempuran berlangsung di jalanan Kota Pualam, hari ini, arena juang telah bergeser secara fundamental ke ranah etika, integritas, dan kesadaran sosial. Kita ditantang untuk merobek tirai historisisme dan menghadapi realitas empiris bahwa musuh telah berganti wujud. Pertempuran Surabaya 1945 mengajarkan kita tentang pengorbanan yang absolut. Di bawah komando tokoh-tokoh karismatik seperti Bung Tomo, rakyat sipil, ulama, dan milisi bersatu dalam satu spirit: Merdeka atau Mati . Mereka menanggapi ultimatum asing dengan penolakan mentah-mentah, mengubah Kota Pahlawan menjadi neraka pertempuran selama tiga minggu. Peristiwa ini adalah puncak ...

Elegi Kota Pahlawan: Ketika Surabaya Menolak Padam

MENJUAL HARAPAN - Setiap tahun, ketika dedaunan mulai menguning dan angin November berbisik perlahan, ingatan bangsa ini kembali tertuju pada satu nama kota: Surabaya. Ia bukan sekadar kota, melainkan altar sakral  tempat martabat dipertaruhkan dengan nyawa, tempat kemerdekaan yang baru seumur jagung diuji oleh gemuruh meriam. Tanggal Sepuluh November  bukanlah sekadar tanggal; ia adalah epos  yang tertulis dengan tinta darah, sumpah yang diikrarkan dalam kobaran api. Proklamasi 17 Agustus 1945 telah mengoyak tirai kegelapan, namun fajar kebebasan itu masih rapuh, diintai oleh bayangan masa lalu yang ingin kembali mencengkeram. Di sudut kota, di Hotel Yamato  yang angkuh, bendera tiga warna (Merah-Putih-Biru) kembali dikibarkan, seolah mencabik-cabik harga diri yang baru saja direngkuh. Tangan-tangan perkasa rakyat Surabaya tak sudi berdiam. Insiden heroik perobekan kain biru itu, menyisakan Merah dan Putih  yang berkibar gagah, adalah proklamasi kedua: bahwa ke...

Kemerdekaan yang Diperjuabelikan

MENJUAL HARAPAN - Kemerdekaan   adalah warisan paling luhur dari sejarah bangsa.  Ia lahir dari darah, air mata, dan keberanian rakyat yang menolak dijajah. Namun kini, kemerdekaan tak lagi terasa sakral. Ia diperjualbelikan—dalam politik, dalam proyek, dalam narasi. Setiap 17 Agustus, kemerdekaan dirayakan dengan seremoni.  Tapi di balik bendera yang dikibarkan dan pidato yang dibacakan, ada transaksi yang tak terlihat. Kemerdekaan dijadikan komoditas, bukan komitmen. Ia dipakai, bukan diperjuangkan. Sehingga, d alam banyak pernyataan rakyat acap terdengar kata-kata “Kami merdeka di atas kertas, tapi tak bebas dalam hidup.”  Pernyataan ini menggugat makna kemerdekaan yang hanya formal. Mereka masih terikat oleh ketimpangan, oleh sistem yang tak berpihak, oleh pelayanan yang tak adil. Kemerdekaan yang diperjualbelikan adalah kemerdekaan yang tak berpihak.  Ia dipakai untuk membenarkan proyek, untuk menjual program, dan untuk membungkam kritik. Kemerdekaan menjad...

Ritual Nasionalisme

  MENJUAL HARAPAN - Setiap bulan Agustus, negeri ini dipenuhi warna merah-putih.  Bendera dikibarkan, lagu kebangsaan dinyanyikan, dan upacara digelar dengan khidmat. Namun di balik gegap gempita itu, muncul pertanyaan yang tak terucap: nasionalisme untuk siapa? Nasionalisme yang sejati seharusnya lahir dari kesadaran kolektif.  Ia tumbuh dari pengalaman bersama, dari perjuangan warga, dan dari komitmen terhadap keadilan. Melainkan , yang kita saksikan hari ini adalah seremoni tanpa substansi—ritual yang kehilangan ruh. Jangan sampai rakyat, disuruh hormat bendera, namun tidak pernah dihormati oleh negara. Nasionalisme menjadi tuntutan, bukan pengakuan. Ritual nasionalisme  ( kosong )  tampak dalam upacara yang formal, tetapi tak menyentuh hati.  Anak-anak berdiri berjam-jam, guru membaca teks, dan pejabat memberi pidato. Akan tetapi, tidak ada ruang refleksi, tak ada dialog, tak ada makna yang dibangun bersama. Nasionalisme juga dijadikan alat kontrol. ...