Langsung ke konten utama

Kemerdekaan yang Diperjuabelikan



MENJUAL HARAPAN - Kemerdekaan adalah warisan paling luhur dari sejarah bangsa. Ia lahir dari darah, air mata, dan keberanian rakyat yang menolak dijajah. Namun kini, kemerdekaan tak lagi terasa sakral. Ia diperjualbelikan—dalam politik, dalam proyek, dalam narasi.

Setiap 17 Agustus, kemerdekaan dirayakan dengan seremoni. Tapi di balik bendera yang dikibarkan dan pidato yang dibacakan, ada transaksi yang tak terlihat. Kemerdekaan dijadikan komoditas, bukan komitmen. Ia dipakai, bukan diperjuangkan.

Sehingga, dalam banyak pernyataan rakyat acap terdengar kata-kata “Kami merdeka di atas kertas, tapi tak bebas dalam hidup.” Pernyataan ini menggugat makna kemerdekaan yang hanya formal. Mereka masih terikat oleh ketimpangan, oleh sistem yang tak berpihak, oleh pelayanan yang tak adil.

Kemerdekaan yang diperjualbelikan adalah kemerdekaan yang tak berpihak. Ia dipakai untuk membenarkan proyek, untuk menjual program, dan untuk membungkam kritik. Kemerdekaan menjadi alat legitimasi, bukan ruang pembebasan.

Dalam refleksi filosofis, kemerdekaan adalah ruang otonomi kolektif. Ia bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tetapi soal berdaulat atas keputusan, atas pengetahuan, dan atas masa depan. Ketika kemerdekaan dijadikan alat kekuasaan, ia kehilangan makna.

Kemerdekaan juga dikomodifikasi dalam politik elektoral. Kandidat bicara tentang nasionalisme, partai menjual janji kebangsaan, dan kampanye dibungkus dengan simbol perjuangan. Tapi setelah terpilih, warga dilupakan. Kemerdekaan menjadi strategi.

Dalam sistem kebijakan, kemerdekaan dijadikan label. Program diberi nama patriotik, proyek diberi narasi perjuangan, dan regulasi diberi bumbu kebangsaan. Padahal, dampaknya sering kali merugikan warga. Narasi digunakan untuk menutupi luka.

Kemerdekaan juga dijual dalam media. Tayangan penuh simbol, iklan penuh jargon, dan konten penuh glorifikasi. Tapi tak ada ruang untuk refleksi, tak ada sorotan pada ketimpangan, dan tak ada suara warga. Kemerdekaan menjadi konsumsi.

Dalam pelayanan publik, kemerdekaan tak terasa. Warga harus tunduk pada prosedur, tak punya ruang negosiasi, dan tak bisa menentukan arah. Mereka dilayani, tapi tak diberdayakan. Kemerdekaan menjadi slogan.

Kemerdekaan juga dijual dalam pendidikan. Anak-anak diajarkan tentang sejarah kemerdekaan, tetapi tak diajak memahami makna kebebasan. Mereka belajar tentang tokoh, tapi tak belajar tentang keberanian berpikir. Pendidikan menjadi hafalan.

Dalam ruang hukum, kemerdekaan tak melindungi. Warga yang menggugat dianggap mengganggu stabilitas, komunitas yang menolak proyek dianggap anti negara. Padahal, menggugat adalah bentuk kemerdekaan yang sejati.

Namun, kemerdekaan bisa direbut kembali. Ia harus dimulai dari bawah, dari suara warga, dari pengalaman komunitas, dan dari keberanian menggugat. Kemerdekaan bukan hadiah, tetapi hak yang harus diperjuangkan terus-menerus.

Kemerdekaan harus hidup. Di sana, rakayat bisa bicara, kebijakan bisa diuji, dan pelayanan bisa dirancang secara etis. Kemerdekaan menjadi praksis, bukan seremoni.

Dalam pendekatan visual, kemerdekaan bisa divisualisasikan sebagai ruang keberdayaan. Poster tentang perjuangan komunitas, booklet tentang hak warga, dan infografis tentang partisipasi bisa menjadi alat pendidikan. Visual menjadi ruang pembebasan.

Kemerdekaan juga harus masuk dalam kurikulum partisipatif. Anak-anak harus belajar tentang hak, tentang keberanian berpikir, dan tentang keberpihakan. Pendidikan harus membentuk warga yang merdeka secara pikiran dan tindakan.

Dan mungkin, kemerdekaan yang sejati adalah ketika warga bisa berkata: “Saya bebas untuk bicara, untuk menentukan, dan untuk menggugat.” Ketika mereka tak hanya dilayani, tetapi diberdayakan. Kemerdekaan harus hidup dalam praktik.

Episode ini adalah ajakan untuk membebaskan kemerdekaan dari komodifikasi. Agar ia tak lagi dijual, agar ia tak lagi dipakai sebagai topeng, dan agar ia kembali menjadi ruang perjuangan. Karena kemerdekaan bukan barang dagangan—ia adalah hak yang harus dijaga bersama. (Serie-16 dari Refleksi Kemerdekaan)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Pemain Terbaik Liga Prancis Pekan Keenam 2025/2026: Siapa Raja Golnya?

MENJUAL HARAPAN - Pekan keenam Ligue 1 musim 2025/2026 tak hanya menyuguhkan persaingan sengit antar klub, tapi juga menampilkan para pemain yang bersinar lewat koleksi gol mereka. Berikut adalah para pemain paling produktif sejauh ini: Top Skor Sementara Liga Prancis 2025/2026 Pemain Klub Gol A. Tosin Lorient 3 F. Magri Toulouse 3 P. Aubameyang Marseille 3 B. Barcola PSG 3 P. Pagis Lorient 3 João Neves PSG 3 I. Kebbal Paris FC 3 Ansu Fati AS Monaco 3 R. Del Castillo Brest 3 J. Panichelli Strasbourg 3 Ansu Fati  tampil luar biasa dengan 3 gol hanya dalam 70 menit bermain, menunjukkan efisiensi luar biasa. João Neves  dan Barcola  menjadi andalan PSG dalam urusan mencetak gol, mendukung dominasi klub di klasemen. Aubameyang  kembali menunjukkan ketajamannya bersama Marseille, menjadi motor serangan tim. Baca juga:  Liga Prancis 2025/2026 Pekan Keenam Pemain Menonjol Pekan Keenam Tyler Morton (Lyon) : Mencetak gol kemenangan atas Lille, menjaga posisi Lyon tetap d...