HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Hegemoni Ekologis




Oleh Silahudin

MENJUAL HARAPAN - RETORITKA pembangunan berkelanjutan, dan jargon hijau tampak kian populer di ruang-ruang kebijakan, akan tetapi, di balik itu juga tersembunyi satu paradoks besar, yaitu alam terus mengalami kerusakan struktural, walau keberlanjutannya digembar-gemborkan. 

Pergulatan hidup kita, dalam realitasnya dikonstruksi oleh bahasa, dan narasi yang seolah peduli terhadap lingkungan, namun, secara praksis terus-menerus melegitimasi eksploitasi. Pada titik simpul inilah, letak hegemoni ekologis, bukan hanya dominasi atas alam, tetapi juga dominasi atas cara berpikir tentang alam.

Memang, hegemonis ekologis bekerja secara halus melalui wacana yang kita anggap netral, seperti istilah "pemanfaatan sumber daya", "optimalisasi kawasan", atau "efisiensi energi", dan lain sejenisnya. Dalam tataran kerangka tersebut, alam dikonstruksi sebagai objek pasif yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Kepentingan ekonomi diselubungi bahasa saintifik dan teknokratik agar tampak rasional dan tak terbantahkan.

Proses-proses tersebut, secara sadar atau tidak, bahkan langsung atau tidak langsung, sesungguhnya, menyingkirkan pendekatan spiritual, relasional, dan lokal dalam memahami alam. Pengetahuan masyarakat adat, misalnya, sering kali dianggap irasional atau mistik oleh pusat kekuasaan. Padahal, dalam pengetahuan tersebut terkandung kesadaran ekologis yang lebih tua dan lebih organik, yang melihat alam bukan sebagai "sumber daya" melainkan sebagai kerabat, bahkan sebagai ibu.

Ruang wacana hegemonik, kerusakan lingkungan bukanlah kegagalan sistemik, melainkan efek samping yang bisa dikelola. Sehingga muncul konsep “net-zero emission” atau “kompensasi karbon" yang seringkali hanya bersifat kosmetik. Realitas ekologisnya yang kompleks disederhanakan menjadi angka, dan grafik, mengabaikan dimensi etis dan spiritual dari kehancuran yang terjadi.

Bahkan, acapkali dominasi tersebut diperkuat oleh institusi politik yang lebih sering berpihak pada kapital daripada kehidupan. Keberadaan negara, yang semestinya menjadi pelindung ruang hidup rakyat, justru menjadi fasilitator utama ekspansi ekonomi ekstraktif. Izin tambang, deforestasi atas nama infrastruktur, dan reklamasi pantai adalah bentuk konkret dari aliansi antara negara dan modal dalam menyempurnakan hegemoni ekologis.

Selain itu pula, hegemoni juga mengatur apa yang dianggap "ilmiah" dan apa yang tidak. Sains lingkungan, yang dominan cenderung menyingkirkan aspek budaya, dan spiritual dalam perumusan kebijakan. Memang, penting, namun ketika pengetahuan lain disingkirkan dari meja pengambilan keputusan, tenti disini juga terjadi kolonisasi epistemik dalam wacana lingkungan.

Bahkan tanpa disadari, media massa sebagai kanal informasi publik, ikut serta mereproduksi logika ini. Rangkaian berita tentang pembangunan industri atau jalan tol, jarang menyertakan sudut pandang ekologis yang kritis. Pegiat-pegiat tentang perjuangan komunitas menjaga hutan, sungai, atau laut seringkali hanya dimunculkan sebagai "warna lokal", bukan sebagai narasi utama pembangunan alternatif.

Dalam tataran ini, pendidikan menjadi krusial sebagai medan proses "diagnosis" mentransformasikan mengaitkan pelestarian ekologis dengan keadilan sosial. Dalam arti, kurikulum  tidak hanya mengajarkan konservasi sebagai prosedur teknis, yang hanya melahirkan generasi baru yang tumbuh dengan persepsi bahwa alam cukup dilindungi, dan menanam pohon sekali setahun atau mendaur ulang botol plastik. Dibutuhkan transformasi paradigma.

Kadang, tidak jarang hegemoni ekologis juga menumbuhkan ilusi partisipasi. Seperti masyarakat diundang dalam diskusi publik, termasuk diikutsertakan dalam survei dampak lingkungan, namun, keputusan akhir tetap berada di tangan segelintir elite yang berpihak pada investasi. Sehingga yang terjadi bukan demokratisasi ekologi, melainkan depolitisasi perlawanan.

Di banyak tempat, komunitas-komunitas lokal masih mempertahankan cara hidup yang selaras dengan alam. Gerakan sosial, akademisi kritis, hingga seniman mulai menyuarakan bentuk lain dari pembangunan: pembangunan yang berakar pada keadilan ekologis dan bukan sekadar pertumbuhan angka.

Pada tataran tersebut, dekolonisasi ekologi menjadi jalan penting untuk membongkar hegemoni ini. Kita perlu menata ulang relasi antara manusia dan alam, bukan dari perspektif dominasi, namun dari perspektif koeksistensi. Ini berarti membuka ruang bagi keberagaman pengetahuan, termasuk yang berasal dari mitos, puisi, ritual, dan pengalaman batin manusia dengan lingkungannya.

Tentu dalam konteks Indonesia, tantangan ini menjadi lebih kompleks karena terjebak antara tuntutan globalisasi, dan warisan kearifan lokal. Akan tetapi, justru disinilah letak peluangnya, kita punya basis budaya yang kaya untuk membangun ekologi alternatif. Alam dalam perspektif Nusantara bukan hanya ruang ekonomi, melainkan ruang hidup dan spiritualitas.

Membongkar hegemoni ekologis, berarti mempertanyakan ulang makna pembangunan, kemajuan, dan kehidupan yang bermakna. Kita perlu memulihkan atau mendefinisikan kembali kata “kemajuan”, agar tidak bertabrakan dengan kelestarian. Oleh karena, pembangunan yang merusak alam bukanlah kemajuan, ia adalah bentuk lain dari kemunduran yang terstruktur.

Bila kita gagal menggeser arah dominasi ini, sesungguhnya yang menanti bukan hanya krisis iklim, melainkan krisis makna dan keberlanjutan hidup. Dengan demikian, bukan hanya udara yang beracun, namun juga pikiran yang kehilangan arah dalam pusaran narasi palsu. Karenanya, dibutuhkan membangun ulang kesadaran kolektif bahwa membela alam bukan sekadar tindakan ekologis, melainkan juga tindakan moral, filosofis, bahkan spiritual.*

*)Dosen FISIP UNNUR



Tutup Iklan