Tata Cara dan Tahapan RPJPD, RPJMD, dan RKPD dalam Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia: Kajian Normatif dan Partisipatif
Silahudin
Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung
MENJUAL HARAPAN - PERENCANAAN pembangunan daerah merupakan instrumen strategis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui tata kelola pemerintahan yang demokratis, efisien, dan berkeadilan. Dalam konteks Indonesia, sistem ini diatur secara normatif melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diperinci dalam Permendagri No. 86 Tahun 2017.
Undang-undang tersebut menegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah terdiri atas tiga dokumen utama: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Ketiganya disusun secara berjenjang, partisipatif, dan berorientasi hasil (UU No. 23/2014, Pasal 258).
RPJPD merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka waktu 20 tahun. Ia berfungsi sebagai arah strategis pembangunan daerah yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). RPJPD disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda).
Menurut Permendagri No. 86 Tahun 2017, penyusunan RPJPD dimulai dengan analisis kondisi daerah, perumusan visi dan misi jangka panjang, serta identifikasi isu strategis. Proses ini melibatkan konsultasi publik, kajian akademik, dan sinkronisasi dengan RPJPN.
RPJMD adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka waktu lima tahun, yang disusun oleh kepala daerah terpilih paling lambat enam bulan setelah pelantikan. RPJMD merupakan penjabaran visi dan misi kepala daerah ke dalam program prioritas pembangunan.
Dalam praktiknya, RPJMD menjadi arena politik pembangunan, di mana visi kepala daerah diuji melalui proses partisipatif seperti Musrenbang RPJMD, forum perangkat daerah, dan konsultasi publik. Hal ini sejalan dengan pandangan Siagian (1994) bahwa perencanaan pembangunan bukan hanya teknokratis, tetapi juga politis dan sosial.
RKPD adalah dokumen perencanaan tahunan yang menjadi dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). RKPD disusun oleh Bappeda setiap tahun dan ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada).
Penyusunan RKPD dimulai dengan rancangan awal yang disusun berdasarkan RPJMD dan Renstra OPD. Proses ini dilanjutkan dengan Musrenbang berjenjang dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi.
Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) merupakan forum partisipatif yang memungkinkan masyarakat menyampaikan aspirasi dan usulan program pembangunan. Musrenbang menjadi jembatan antara kebutuhan lokal dan kebijakan daerah.
Menurut Hoessein (2017), partisipasi masyarakat dalam Musrenbang harus bersifat substantif, bukan sekadar formalitas. Ia menekankan pentingnya rekognisi terhadap pengetahuan lokal dan pengalaman warga dalam menyusun kebijakan publik.
Dalam konteks RPJPD, partisipasi masyarakat diwujudkan melalui konsultasi publik dan penyusunan naskah akademik. Hal ini bertujuan memastikan bahwa visi jangka panjang daerah mencerminkan aspirasi kolektif dan potensi lokal.
RPJMD, sebagai dokumen politik pembangunan, harus mampu mengakomodasi janji kampanye kepala daerah dalam kerangka hukum dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, proses penyusunannya harus transparan dan inklusif.
RKPD, sebagai dokumen operasional tahunan, menjadi arena penting bagi DPRD untuk menjalankan fungsi pengawasan dan penganggaran. DPRD harus memastikan bahwa RKPD selaras dengan RPJMD dan aspirasi warga.
Dalam praktiknya, banyak daerah menghadapi tantangan dalam menyusun dokumen perencanaan secara partisipatif. Ketimpangan kapasitas kelembagaan, minimnya data lokal, dan dominasi elite politik sering menghambat proses demokratis.
Oleh karena itu, diperlukan mekanisme evaluasi partisipatif yang dapat menilai sejauh mana dokumen RPJPD, RPJMD, dan RKPD mencerminkan aspirasi masyarakat. Matriks evaluasi partisipatif dapat digunakan sebagai alat refleksi dan pengawasan.
Matriks tersebut mencakup indikator seperti keterlibatan warga, representasi kelompok rentan, kualitas usulan, integrasi ke dalam dokumen resmi, dan transparansi proses. Evaluasi ini dapat dilakukan oleh DPRD, akademisi, dan komunitas warga.
DPRD memiliki peran strategis dalam mengawal proses perencanaan pembangunan daerah. Selain fungsi legislasi dan anggaran, DPRD harus aktif dalam forum Musrenbang dan evaluasi RPJMD serta RKPD.
Dalam pelatihan DPRD, penting untuk menekankan bahwa dokumen perencanaan bukan sekadar formalitas birokrasi, tetapi alat transformasi sosial. DPRD harus menjadi penghubung antara warga dan kebijakan.
Selain itu, DPRD perlu memahami bahwa RPJPD adalah fondasi jangka panjang yang harus dijaga konsistensinya lintas periode pemerintahan. RPJMD dan RKPD harus disusun dalam kerangka RPJPD agar pembangunan daerah tidak terfragmentasi.
Permendagri No. 86 Tahun 2017 memberikan panduan teknis yang rinci mengenai tata cara penyusunan RPJPD, RPJMD, dan RKPD. Dokumen ini harus menjadi referensi utama dalam pelatihan dan pengawasan DPRD.
Dalam konteks epistemik, perencanaan pembangunan daerah harus mengakui pluralitas pengetahuan dan pengalaman warga. Hal ini sejalan dengan gagasan Fraser (2008) tentang keadilan partisipatif dan representasi publik.
Oleh karena itu, pelatihan DPRD harus mencakup pendekatan reflektif dan etis dalam menyusun dan mengevaluasi dokumen perencanaan. DPRD harus mampu membaca RPJPD bukan hanya sebagai teks hukum, tetapi sebagai narasi pembangunan.
Dengan demikian, tata cara dan tahapan RPJPD, RPJMD, dan RKPD menurut UU No. 23 Tahun 2014 merupakan kerangka penting dalam mewujudkan pembangunan daerah yang demokratis dan berkeadilan. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kapasitas kelembagaan dan partisipasi warga.
Dengan pendekatan partisipatif, reflektif, dan berbasis data lokal, DPRD dapat memainkan peran transformatif dalam perencanaan pembangunan daerah. Dokumen RPJPD, RPJMD, dan RKPD harus menjadi cermin aspirasi warga dan arah perubahan sosial.
Referensi
Fraser, N. (2008). Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World. Columbia University Press.
Hoessein, B. (2017). Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Dinamika dan Tantangan. Jakarta: LIPI Press.
Kementerian Dalam Negeri. (2017). Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah. Jakarta: Kemendagri.
Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara.
Siagian, S. P. (1994). Administrasi Pembangunan. Jakarta: Bumi Aksara.
Komentar