Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label hubungan internasional

Kekuasaan sebagai Pertemuan: Dunia Muslim dan Rekonstruksi Makna Kuasa Yang Manusiawi

“The Muslim world is not a monolith, but it is a mosaic of possibilities.” — Shadi Hamid , Brookings Institution MENJUAL HARAPAN - Dalam lanskap geopolitik yang tengah mengalami pergeseran, dunia Muslim tidak lagi hanya menjadi medan konflik atau objek intervensi, melainkan mulai tampil sebagai subjek sejarah yang aktif dan reflektif. Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Jeddah, misalnya, bukan hanya diplomasi bilateral, tetapi juga bagian dari narasi baru: bahwa dunia Muslim sedang menata ulang dirinya sebagai kekuatan moral, ekonomi, dan epistemik. “Dunia Islam harus membaca peluang geopolitik baru: saat Barat melemah dan Timur menguat. Persatuan adalah kunci.” — Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI), 2025  (liat; HILMI: Dunia Islam Harus Membaca Peluang Geopolitik Baru ). Kebangkitan ini tidak datang dari ruang hampa. Ia lahir dari kelelahan kolektif atas narasi lama yang menempatkan dunia Muslim dalam posisi subordinat—...

Ketika Selatan Menatap Utara: Diplomasi Sebagai Tindakan Ontologis dan Politik Pengakuan

ilustrasi bola dunia (foto hasil tangkapan layar dari kompas.id) “Diplomacy is the art of listening before speaking.” — Harold Nicolson , diplomat dan sejarawan Inggris MENJUAL HARAPAN - Di dunia yang dipetakan oleh kekuasaan, “Selatan” dan “Utara” bukan hanya koordinat geografis, melainkan metafora tentang ketimpangan wacana, asimetri pengaruh, dan penjinakan identitas. Akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan geliat baru , yaitu munculnya kesadaran epistemik di berbagai belahan dunia Selatan yang tak lagi ingin sekadar diwakili—melainkan hadir sebagai pemakna sejarahnya sendiri. Apa makna menjadi bangsa dari Selatan dalam dunia yang masih dikonstruksi oleh lensa Utara? Pertanyaan ini menjadi titik tolak dalam membaca ulang dinamika geopolitik kontemporer. Diplomasi, yang dahulu begitu identik dengan negosiasi kuasa, kini menghadapi tantangan eksistensial: mampukah ia menjadi ruang di mana subjek kolektif dari Selatan menyatakan keberadaannya bukan dalam bahasa subo...