ilustrasi bola dunia (foto hasil tangkapan layar dari kompas.id) |
“Diplomacy is the art of listening before speaking.”
— Harold Nicolson, diplomat dan sejarawan Inggris
MENJUAL HARAPAN - Di dunia yang dipetakan oleh kekuasaan, “Selatan” dan “Utara” bukan hanya koordinat geografis, melainkan metafora tentang ketimpangan wacana, asimetri pengaruh, dan penjinakan identitas. Akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan geliat baru, yaitu munculnya kesadaran epistemik di berbagai belahan dunia Selatan yang tak lagi ingin sekadar diwakili—melainkan hadir sebagai pemakna sejarahnya sendiri.
Apa makna menjadi bangsa dari Selatan dalam dunia yang masih dikonstruksi oleh lensa Utara?
Pertanyaan ini menjadi titik tolak dalam membaca ulang dinamika geopolitik kontemporer. Diplomasi, yang dahulu begitu identik dengan negosiasi kuasa, kini menghadapi tantangan eksistensial: mampukah ia menjadi ruang di mana subjek kolektif dari Selatan menyatakan keberadaannya bukan dalam bahasa subordinasi, tetapi keberanian untuk mendefinisikan masa depannya sendiri?
Presiden Prabowo Subianto, dalam pertemuannya dengan Putra Mahkota MBS beberapa bulan yang lalu, bukan hanya menjalankan protokol diplomatik, tetapi memperagakan suatu bentuk tindakan ontologis, yaituhadir sebagai representasi bangsa yang sadar akan dirinya, akan sejarahnya, dan akan tanggung jawab masa depan yang hendak dibentuk secara aktif—bukan diterima secara pasif.
Di sinilah diplomasi bergeser maknanya. Ia bukan hanya instrumen, tetapi ekspresi dari sebuah keberadaan: diplomacy as being. Kehadiran negara-negara Selatan di meja perundingan tak lagi sekadar untuk disesuaikan dalam sistem, tetapi untuk meredefinisi sistem itu sendiri—agar lebih inklusif, etis, dan manusiawi.
Gerakan ini bukan tanpa tantangan. Akan ada kekuatan lama yang terus bertahan dalam format hierarki lama. Namun, justru dari upaya reflektif semacam ini, kita bisa memulainya: dari ruang yang kecil namun jujur; dari dialog yang tidak mendominasi tapi mendengar; dari diplomasi yang bukan adu strategi, tapi saling mengakui keberadaan.*
Komentar