Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label keadilan

Keadilan dan Surutnya Keserakahan

  MENJUAL HARAPAN - Retakan   di fondasi Kebun Raya Nusantara kini telah menyebabkan "Banjir Keadilan". Banjir ini bukan berasal dari air hujan, melainkan dari air mata penderitaan yang selama ini tertahan, kini tumpah ruah membanjiri seluruh Kebun Raya. Air mata itu membawa serta lumpur-lumpur kebohongan, puing-puing ketidakadilan, dan sisa-sisa keserakahan yang selama ini menumpuk. Banjir Keadilan ini menyapu bersih semua akar-akar hisap, merobek jaring-jaring laba-laba, dan menghanyutkan Timbangan Curang. Gudang Raksasa yang berisi Harta Kekayaan pun ikut terendam, dan isinya mulai terbawa arus, menyebar ke seluruh penjuru Kebun Raya. Topeng Pembangunan dan Lubang-lubang Kemiskinan pun ikut hanyut, tak bersisa. Si Kecil, si semut pekerja, menyaksikan semua ini dengan takjub. Ia melihat bagaimana air mata penderitaan yang selama ini ia saksikan, kini menjadi kekuatan yang membersihkan segalanya. Ia melihat bagaimana Kebun Raya yang dulunya kotor dan penuh nestapa, kini per...

Retaknya Fondasi dan Tumbuhnya Tunas Baru

    MENJUAL HARAPAN  - Getaran dari bawah tanah kini telah menyebabkan retakan besar pada fondasi Kebun Raya Nusantara. Retakan itu bukan karena gempa bumi, melainkan karena tekanan dari bawah, dari suara-suara yang selama ini terpendam. Para Penguasaha, yang selama ini merasa aman di atas fondasi yang kokoh, kini mulai merasakan guncangan. Mereka mencoba menambal retakan itu dengan janji-janji kosong dan aturan-aturan baru, namun usaha mereka sia-sia. Retakan itu semakin membesar, dan dari celah-celah itu, mulai tumbuh tunas-tunas baru. Tunas-tunas ini bukan berasal dari benih yang ditanam oleh Para Penguasaha, melainkan dari "Benih Kejujuran" dan "Benih Keadilan" yang selama ini tersembunyi di bawah tanah. Tunas-tunas itu tumbuh perlahan namun pasti, menembus lapisan-lapisan kebohongan dan ketidakadilan. Si Kecil, si semut pekerja, melihat bagaimana tunas-tunas itu tumbuh. Ia melihat bagaimana mereka menembus akar-akar hisap, merobek jaring-jaring laba-laba, dan m...

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

Jaring-jaring Laba-laba dan Mangsa yang Terjerat

  MENJUAL HARAPAN  - Di   atas Kebun Raya Nusantara, mulai terbentang jaring-jaring laba-laba raksasa. Jaring-jaring ini bukan terbuat dari benang sutra biasa, melainkan dari "Benang Hutang" dan "Benang Aturan". Para Penguasaha adalah laba-laba raksasa yang dengan lihai menenun jaring-jaring ini, menjerat setiap penghuni Kebun Raya yang mencoba bergerak bebas. Sekali terjerat, sulit sekali untuk melepaskan diri. Setiap benang hutang memiliki daya tarik yang kuat. Para Petani Kecil yang kesulitan mencari nafkah, seringkali tergoda untuk meminjam uang dari Para Penguasaha, dengan harapan bisa memulai hidup baru. Namun, setiap pinjaman datang dengan bunga yang mencekik, dan setiap bunga akan melahirkan benang hutang baru yang semakin kuat, semakin menjerat mereka dalam lingkaran setan. Si Kecil, si semut pekerja, melihat bagaimana banyak kawanan semut lain yang terjerat dalam jaring-jaring ini. Mereka yang dulunya bebas bergerak, kini terikat erat, tak bisa ke mana-man...

Akar-akar Hisap dan Tanah yang Kering

  MENJUAL HARAPAN - Akar-akar hisap mulai menjalar di bawah tanah Kebun Raya Nusantara. Akar-akar ini bukan berasal dari pohon-pohon yang menumbuhkan kehidupan, melainkan dari "Pohon Kapital" yang ditanam oleh Para Penguasaha. Akar-akar ini memiliki kemampuan luar biasa: menghisap sari-sari tanah hingga kering kerontang, meninggalkan sisa-sisa yang tak berguna bagi tanaman lain. Mereka bahkan mampu menghisap semangat dan harapan dari Para Petani Kecil. Setiap hari, akar-akar ini semakin membesar dan menjalar ke segala arah, menjangkau setiap jengkal tanah yang tersisa. Mereka tidak peduli apakah tanah itu sudah digarap oleh Para Petani Kecil atau belum, mereka akan tetap menghisapnya hingga tak bersisa. Seperti lintah yang menempel di tubuh, akar-akar ini terus menggerogoti Kebun Raya, membuat tanahnya semakin tandus dan tak berdaya. Si Kecil, si semut pekerja, melihat bagaimana tanah di sekeliling sarangnya mulai mengering. Rumput-rumput yang dulunya hijau kini menguning, da...

17+8 Tuntutan Rakyat yang Menggugat Nurani Bangsa

MENJUAL HARAPAN  - Fenomena   “17+8 Tuntutan Rakyat” yang merebak di Indonesia sejak akhir Agustus 2025 ,  merupakan ekspresi kolektif dari keresahan publik terhadap akumulasi ketidakadilan sosial, ketimpangan politik, dan lemahnya akuntabilitas institusi negara. Angka 17+8 bukan sekadar simbol matematis, melainkan representasi dari 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang yang dirumuskan oleh masyarakat sipil, aktivis, dan influencer lintas sektor. Gerakan ini lahir dari momentum demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh isu kenaikan tunjangan DPR, kekerasan aparat, dan kematian tragis Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang dilindas kendaraan taktis Brimob. (Lihat:  detik.com ,  dw.com ). Secara substansi, 17 tuntutan jangka pendek menyoroti isu-isu mendesak seperti transparansi anggaran DPR, penghentian kekerasan aparat, pembebasan demonstran, dan penegakan disiplin institusi keamanan. Sementara 8 tuntutan jangka panjang mengarah p...

Reformasi Polri Mandek

  "Reformasi birokrasi Polri masih belum menyentuh Polri menjadi aparat sipil yang profesional, demokratis, menghormati hak asasi manusia, dan akuntabel" Oleh Silahudin MENJUAL HARAPAN - Dua puluh enam tahun lalu pada 1999, Polri resmi dipisahkan dari ABRI sebagai salah satu tonggak reformasi pasca-Orde Baru. Harapannya jelas, yaitu Polri menjadi aparat sipil yang profesional, demokratis, menghormati hak asasi manusia, dan akuntabel di mata publik. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian ditegaskan sebagai dasar hukum bagi transformasi ini. Di atas kertas, visi itu mulia. Akan tetapi, dalam praktik, cita-cita tersebut berulang kali dikompromikan oleh budaya kekerasan, dan resistensi internal. Tragedi Pejompongan pada 28 Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online (ojol) tewas terlindas rantis Brimob di tengah demonstrasi, bukan peristiwa tunggal. Tragedi Pejompongan, hanya satu mata rantai dari luka panjang. Sebelumnya, kita menyaksikan Tragedi Kanjuruhan (2...

Negeri yang Belum Bernama

MENJUAL HARAPAN - Ada negeri yang kita tinggali, tetapi belum sepenuhnya kita miliki.  Ia punya bendera, punya lagu kebangsaan, punya konstitusi. Tapi ia belum punya nama yang benar-benar lahir dari suara warga. Ia belum punya wajah yang memantulkan semua keberagaman. Ia adalah negeri yang belum bernama. Negeri ini berdiri di atas sejarah panjang, tetapi sering lupa pada akar.  Ia dibangun dari perjuangan, tetapi sering mengabaikan luka. Ia bicara tentang persatuan, tetapi sering menyingkirkan perbedaan. Nama yang kita ucapkan belum sepenuhnya mencerminkan jiwa yang kita perjuangkan. Bahkan, d alam bahasa dialog warga acap terdengar kata-kata “Kami tinggal di sini, tapi tak merasa dimiliki.”  Mereka merasa asing di tanah sendiri, tak diundang dalam kebijakan, tak diakui dalam narasi. Negeri ini berjalan, tetapi tak menoleh. Negeri yang belum bernama adalah negeri yang belum selesai.  Ia masih mencari arah, masih menggugat makna, masih merajut harapan. Ia bukan kegaga...

Keadilan Yang Tak Berwajah

Refleksi Kemerdekaan RI ke-80 MENJUAL HARAPAN - Keadilan adalah wajah yang seharusnya paling dikenali dari negara.  Ia adalah janji yang tertulis dalam konstitusi, nilai yang dijunjung dalam Pancasila, dan harapan yang hidup dalam hati warga. Namun, dalam kenyataan hari ini, keadilan tak punya wajah—ia tak tampak, tak terasa, dan tak berpihak. Warga sering bertanya: “Di mana keadilan itu?”  Mereka melihat koruptor tersenyum di televisi, sementara pencuri ayam dihukum berat. Mereka melihat tanah mereka diambil tanpa musyawarah, pelayanan publik yang diskriminatif, dan hukum yang tak menyentuh elite. Keadilan menjadi ilusi. Keadilan yang tak berwajah adalah keadilan yang tak bisa dikenali.  Ia hadir dalam pidato, tetapi absen dalam praktik. Ia disebut dalam dokumen, tetapi tak hidup dalam pelayanan. Ia menjadi kata-kata, bukan tindakan. Dalam refleksi filosofis, keadilan adalah relasi yang adil.  Ia bukan hanya soal distribusi, tetapi soal pengakuan, partisipasi, dan k...

Kemiskinan yang Diinstitusikan

MENJUAL HARAPAN - Kemiskinan di negeri ini bukan sekadar statistik.  Ia adalah wajah-wajah ya ng kita temui setiap hari , yaitu ibu yang menjual gorengan di pinggir jalan, petani yang tak punya akses pupuk, dan nelayan yang kehilangan lautnya. Mereka bukan angka, mereka adalah narasi yang diabaikan. Kemiskinan bukan takdir, melainkan hasil dari keputusan politik.  Ia lahir dari kebijakan yang tak berpihak, dari anggaran yang tak menyentuh akar masalah, dan dari sistem pelayanan yang tak mengenali kebutuhan warga. Kemiskinan adalah produk institusi. Dalam dialog komunitas, warga sering berkata: “Kami miskin bukan karena malas, tapi karena tak diberi ruang.”  Pernyataan ini menggugat asumsi lama bahwa kemiskinan adalah kesalahan individu. Padahal, sistemlah yang menciptakan ketidakadilan akses. Kemiskinan yang diinstitusikan berarti negara ikut melanggengkan ketimpangan.  Melalui regulasi yang bias, program bantuan yang bersifat karitatif, dan pelayanan yang diskrimina...

Hukum yang Gagap Bahasa Rakyat

  MENJUAL HARAPAN - Hukum, dalam idealnya, adalah bahasa keadilan.  Ia seharusnya bisa dipahami oleh semua, menja di pelindung yang adil, dan menjadi alat pembebasan. Akan tetapi, dalam realitas praktiknya, hukum sering kali berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti rakyat , bahasa teknokratis, formal, dan jauh dari pengalaman sehari-hari. Warga sering kali merasa asing di hadapan hukum.  Mereka tak tahu prosedur, tak paham istilah, dan tak punya akses. Ketika mereka mencoba bicara, hukum tak mendengar. Ketika mereka meminta perlindungan, hukum justru menghakimi. Bahasa hukum menjadi tembok, bukan jembatan. Dalam dialog komunitas, muncul keluhan: “Kami tak tahu bagaimana membela diri.”  Ini bukan soal ketidaktahuan, tetapi soal sistem yang tak inklusif. Hukum dirancang untuk mereka yang punya kuasa, bukan untuk mereka yang tertindas. Ia menjadi alat eksklusi. Hukum yang gagap adalah hukum yang tak mampu menangkap kompleksitas realitas.  Ia terlalu kaku, terla...