Langsung ke konten utama

17+8 Tuntutan Rakyat yang Menggugat Nurani Bangsa



MENJUAL HARAPAN - Fenomena “17+8 Tuntutan Rakyat” yang merebak di Indonesia sejak akhir Agustus 2025, merupakan ekspresi kolektif dari keresahan publik terhadap akumulasi ketidakadilan sosial, ketimpangan politik, dan lemahnya akuntabilitas institusi negara.

Angka 17+8 bukan sekadar simbol matematis, melainkan representasi dari 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang yang dirumuskan oleh masyarakat sipil, aktivis, dan influencer lintas sektor.

Gerakan ini lahir dari momentum demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh isu kenaikan tunjangan DPR, kekerasan aparat, dan kematian tragis Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang dilindas kendaraan taktis Brimob.(Lihat: detik.comdw.com).

Secara substansi, 17 tuntutan jangka pendek menyoroti isu-isu mendesak seperti transparansi anggaran DPR, penghentian kekerasan aparat, pembebasan demonstran, dan penegakan disiplin institusi keamanan. Sementara 8 tuntutan jangka panjang mengarah pada reformasi struktural, seperti pembersihan DPR, reformasi partai politik, perbaikan sistem perpajakan, dan penguatan lembaga pengawas HAM (Lihat: detik.com). Ini menunjukkan bahwa gerakan ini tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga memiliki visi transformatif terhadap tata kelola negara.

Yang menarik, gerakan ini tidak memiliki satu inisiator tunggal. Ia merupakan hasil kurasi dari lebih dari 200 organisasi masyarakat sipil, termasuk YLBHI, serikat buruh, dan kelompok advokasi lingkungan (lihat: detik.comdw.com). Influencer seperti Jerome Polin, Andhyta F. Utami, dan Abigail Limuria berperan sebagai katalis penyebaran, menjadikan tuntutan ini viral di media sosial dengan simbol visual Brave Pink dan Hero Green—warna yang merepresentasikan keberanian dan harapan.(Lihat: dw.comkompas.com). Ini menandai pergeseran strategi advokasi dari ruang fisik ke ruang digital, di mana solidaritas dibangun melalui estetika dan narasi kolektif.

Dari perspektif kebijakan publik, tuntutan ini mencerminkan fase “agenda setting” dalam siklus advokasi. Menurut Rizal Fauzi, pengamat dari Universitas Hasanuddin, tuntutan ini adalah bentuk artikulasi keluhan publik yang perlu direspons dengan komunikasi yang transparan dan akuntabel (lihat: makassar.tribunnews.com). Namun, ia juga mengingatkan bahwa tidak semua tuntutan dapat segera diakomodasi tanpa instrumen hukum seperti Perppu atau dekrit presiden. Artinya, gerakan ini menantang negara untuk tidak hanya mendengar, tetapi juga merumuskan respons kebijakan yang terukur dan berjangka.

Secara sosiologis, 17+8 merupakan manifestasi dari epistemic justice—di mana suara rakyat yang selama ini terpinggirkan, kini dikemas dalam format yang terstruktur dan dapat dipantau melalui situs seperti rakyatmenuntut.net dan Bijak Memantau (Lihat: uzone.id). Ini membuka ruang baru bagi partisipasi publik yang berbasis data dan akuntabilitas.

Gerakan ini juga menolak monopoli narasi oleh elite politik, dan justru menegaskan bahwa rakyat mampu merumuskan tuntutan kebijakan secara sistematis.

Memang, tantangan terbesar dari gerakan ini adalah keberlanjutan. Apakah semangat kolektif ini mampu bertahan melampaui tenggat waktu 5 September untuk tuntutan jangka pendek dan 31 Agustus 2026 untuk tuntutan jangka panjang? Sejarah gerakan sipil menunjukkan bahwa mobilisasi digital bisa cepat menyebar, tetapi juga mudah meredup jika tidak diikuti dengan konsolidasi kelembagaan dan advokasi lintas sektor. Oleh karena itu, penting bagi koalisi masyarakat sipil untuk menjaga momentum, memperluas basis dukungan, dan terus mengawal implementasi tuntutan.

Dengan demikian, pada akhirnya, 17+8 bukan hanya daftar tuntutan, tetapi juga cermin dari krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Ia menuntut perubahan bukan dari satu aktor, tetapi dari seluruh ekosistem politik dan birokrasi. Dalam konteks kebijakan partisipatif, gerakan ini bisa menjadi studi kasus penting tentang bagaimana visualisasi tuntutan, narasi kolektif, dan advokasi digital dapat membentuk ruang baru bagi demokrasi deliberatif dan transformasi publik yang berakar pada nilai-nilai keadilan sosial.(Silahudin, Pemerhati Sosial Politik)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengawasan Melekat (Waskat)

silahudin Ada ragam pengawasan dalam penyelenggaraan roda pemerintahan, dan salah satunya adalah pengawasan melekat. Pengawasan melekat disingkat WASKAT merupakan salah satu kegiatan manajemen dalam mewujudkan terlaksananya tugas-tugas umum pemerintah (an) dan pembangunan. Waskat, sesungguhnya merupakan kegiatan manajemen sehari-hari yang dilakukan oleh pipinan atau atasan instandi pemerintah dalam setiap satuan unit kerjanya. Apa itu pengawasan melekat? dapat disimak pada video ini.

Menyelami Makna Peribahasa Sunda "Asa Peunggas Leungeun Katuhu"

   Ilustrasi Jenis Pakaian Adat Sunda (Foto tangkapan layer dari  https://learningsundanese.com/pakaian-adat-sunda-jenis-jenis-dan-makna-simbolik/ ) Menjual Harapan – Pergulatan pergaulan kehidupan taubahnya berdampingan antara baik dan buruk. Ragam situasi buruk perlu dihindari, karena berakibat buruk pada khususnya diri sendiri, bahkan dalam kehidupan masyarakat, dan negara. Menelusuri mencari sumber masalah yang menimbulkan situasi buruk tersebut dan menemukannya, berarti setidakanya setengah telah mengatasi situasi tersebut. Ada dalam peribahasa Sunda yang populer, yaitu “Asa peunggas leungeun katuhu” . Secara harfiah berarti “harapan di ujung tangan kanan”. Pesan filosofisnya peribahasa Sunda ini mengajarkan pentingnya mempunyai harapan dan tekad kuat dalam menghadapi berbagai situasi yang sulit. “Leungeun katuhu” (tangan kanan) disimbolkan atau dilambangkan sebagai kekuatan dan kemampuan untuk mencapai tujuan. Iman Budhi Santoso (2016: 601) menjelaskan makna dari ...

Konsistensi Cendekiawan “Memanusiakan” Peradaban

Ilustrasi gambar seorang cendekiawan (Foto hasil proses chat gpt) MENJUAL HARAPAN - Pergulatan berbagai kehidupan negara bangsa ini (nation state) , tampak nyaris tidak lepas dari sorotan kritisi cendekiawan.  Kaum cendekiawan terus bersuara dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti dalam sosial politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sejenisnya.  Sosok kehadiran cendekiawan di tengah pergulatan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara tak dapat ditampik, niscaya selalu berkontributif.  Kehadirannya memiliki peran dan fungsi yang strategis, oleh karena kehadirannya senantiasa hirau dan peduli terhadap permasalahan-permasalahan bangsa demi menjunjung derajat kemanusiaan. Dalam bahasa lain, seseorang yang merasa berkepentingan untuk memikirkan secara rasional dan sepanjang pengetahuannya tentang bangaimana suatu masyarakat atau kemanusiaan pada umumnya bisa hidup lebih baik.  Oleh karena, setiap bangsa dan negara secara langsung atau tidak langsung memutuhkan peran...