Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label kekuasaan

Ritual Nasionalisme

  MENJUAL HARAPAN - Setiap bulan Agustus, negeri ini dipenuhi warna merah-putih.  Bendera dikibarkan, lagu kebangsaan dinyanyikan, dan upacara digelar dengan khidmat. Namun di balik gegap gempita itu, muncul pertanyaan yang tak terucap: nasionalisme untuk siapa? Nasionalisme yang sejati seharusnya lahir dari kesadaran kolektif.  Ia tumbuh dari pengalaman bersama, dari perjuangan warga, dan dari komitmen terhadap keadilan. Melainkan , yang kita saksikan hari ini adalah seremoni tanpa substansi—ritual yang kehilangan ruh. Jangan sampai rakyat, disuruh hormat bendera, namun tidak pernah dihormati oleh negara. Nasionalisme menjadi tuntutan, bukan pengakuan. Ritual nasionalisme  ( kosong )  tampak dalam upacara yang formal, tetapi tak menyentuh hati.  Anak-anak berdiri berjam-jam, guru membaca teks, dan pejabat memberi pidato. Akan tetapi, tidak ada ruang refleksi, tak ada dialog, tak ada makna yang dibangun bersama. Nasionalisme juga dijadikan alat kontrol. ...

Negeri Para Jubah Bayangan

MENJUAL HARAPAN  - Di   sebuah negeri yang konon menjunjung tinggi hukum, berdiri sebuah gedung megah bernama Istana Keadilan. Pilar-pilarnya menjulang, dihiasi patung dewi bermata tertutup, tangan menggenggam timbangan. Tapi di balik tirai marmer itu, suara rakyat tak selalu bergema. Di lorong-lorong kampung, rakyat menyebutnya “Negeri Para Jubah Bayangan.” Sebab di sana, hukum bukanlah cahaya yang menerangi, melainkan bayangan yang menari mengikuti arah kekuasaan. Vonis bisa dijatuhkan, tapi tak selalu dijalankan. Ada yang sudah incrah, tapi tetap melenggang bebas, seolah hukum hanya aksesoris dalam pesta elite. Di warung kopi, Pak Raji, pensiunan guru, mengeluh lirih. “Dulu saya ajarkan anak-anak tentang keadilan. Tapi sekarang, saya bingung menjelaskan kenapa koruptor bisa selfie di mall setelah vonis.” Ia menatap layar televisi yang menampilkan wajah tersenyum seorang terpidana, lengkap dengan caption: “Menunggu eksekusi.” Di sisi lain, Bu Sari, penjual sayur, pernah dita...

Oligarki di Balik Bendera

MENJUAL HARAPAN - Bendera merah-putih berkibar di setiap sudut negeri menjelang 17 Agustus.  Ia menjadi simbol kebanggaan, identitas, dan kemerdekaan. Akan tetapi, di balik kibaran itu, ada bayang-bayang kekuasaan yang tak terlihat , oligarki yang menyusup ke dalam jantung negara, mengatur arah tanpa suara rakyat. Oligarki bukan sekadar dominasi ekonomi, tetapi juga dominasi narasi.  Mereka menentukan apa yang layak diberitakan, siapa yang layak dipilih, dan bagaimana sejarah ditulis. Dalam sistem demokrasi yang prosedural, oligarki menjadi penentu hasil, bukan rakyat. Di balik bendera, ada yang mendanai kampanye, mengatur regulasi, dan memonopoli sumber daya.  Mereka tak perlu duduk di kursi pemerintahan, karena mereka sudah mengendalikan tombol-tombolnya. Negara menjadi panggung, dan rakyat hanya penonton. Dalam refleksi filosofis, oligarki adalah bentuk pengkhianatan terhadap kontrak sosial.  Ia merusak prinsip keadilan distributif, mengabaikan etika publik, dan m...

Negara dalam Cermin Retak

MENJUAL HARAPAN - Negara, dalam imajinasi kolektif, adalah rumah bersama.  Ia seharusnya menjadi ruang aman, tempat warga berlindung, tumbuh, dan bermimpi. Akan tetapi, ketika cermin negara mulai retak, yang tampak bukan lagi wajah rakyat, melainkan bayangan kekuasaan yang menjauh dari kenyataan. Retaknya cermin bukan sekadar metafora estetis, tetapi refleksi struktural.   Ia menunjukkan bahwa institusi negara tak lagi mampu memantulkan harapan rakyat. Yang tampak adalah distorsi  bahwa janji yang tak ditepati, pelayanan yang tak menyentuh, dan kebijakan yang tak berpihak. Dalam dialog atau obrolan komunitas  warga , sering muncul keluhan: “Kami tak merasa punya negara.”  Pernyataan ini bukan bentuk apatisme, melainkan ekspresi kekecewaan. Negara hadir dalam slogan, tetapi absen dalam kehidupan sehari-hari. Ia menjadi entitas jauh, tak terjangkau, dan tak peduli. Cermin retak juga berarti hilangnya transparansi.  Ketika warga tak bisa melihat proses pengamb...

Topeng Pahlawan, Jubah Penindas

Ilustrasi sesi 6 dari "Dagelan Politik" MENJUAL HARAPAN - Panggung   Nusantara , kini penuh dengan paradoks. Mereka yang kemarin mengenakan topeng pahlawan, kini tampil dengan jubah penindas. Mereka yang dulu mengumandangkan janji kebebasan, kini menjadi sipir penjara kebebasan. Si Juru Bicara Berapi-api, yang dulu lantang menyerukan reformasi, kini menjadi penjaga setia status quo. Kata-katanya yang dulu membakar semangat, kini menjadi dingin dan hampa, seperti abu yang tertinggal setelah api padam. Si Penenun Kata-kata, yang dulu piawai merangkai mimpi-mimpi indah, kini menggunakan kata-katanya untuk membenarkan penindasan dan menutupi kebobrokan. Ia tak ragu memutarbalikkan fakta, mengubah hitam menjadi putih, dan putih menjadi abu-abu. Ia adalah seorang penyihir kata yang mampu membuat kebohongan terdengar seperti kebenaran, dan kebenaran terdengar seperti dongeng belaka. Para penonton yang dulu mengelu-elukan mereka, kini merasa dikhianati. Mereka seperti anak-anak kecil...

Selembar Bendera Kekuasaan

MENJUAL HARAPAN - Pentas besar bernama Nusantara tiba-tiba berguncang. Bukan gempa bumi yang menggetarkan, melainkan irama genderang yang ditabuh serentak, memekakkan telinga para penghuni. Seolah-olah, para dalang di balik layar sepakat memainkan lakon yang sama, lakon yang sudah usang namun selalu berhasil menguras emosi penonton. Dahulu kala, Nusantara merupakan taman yang subur, tempat beragam bunga mekar berdampingan, saling berbagi sari dan aroma. Namun, belakangan, tanahnya terasa kering kerontang, tak lagi mampu menumbuhkan tunas-tunas harapan. Angin pun tak lagi berembus sejuk, melainkan membawa debu-debu perpecahan yang menyesakkan. Di pojok panggung, seekor kambing jantan berbulu putih bersih, yang dipanggil Si Jujur, mengembik  risau. Ia tak mengerti mengapa padang rumput yang biasa ia jelajahi kini penuh duri dan ranjau. Dulu, ia hanya perlu menunduk untuk memakan rumput segar, kini ia harus waspada agar kakinya tidak terluka. Para penghuni lain, seperti kawanan burung...

Heningnya Suara Rakyat Kecil (Sesi 5 dari Cerber "Lorong Gelap Keadilan)

MENJUAL HARAPAN - Di tengah riuhnya kota, mesin-mesin pembangunan meraung dan gedung-gedung bertingkat bersaing menjulang, Dadun  menemukan sebuah keheningan yang memekakkan telinga. Heningnya suara rakyat kecil, yang suaranya telah lama dibungkam oleh ketakutan, keputusasaan, dan jerat kemiskinan. Mereka adalah jiwa-jiwa yang terpinggirkan, yang keberadaannya seolah tak tercatat dalam lembaran sejarah negeri. Dadun menyadari, keadilan yang ia cari haruslah berakar pada suara-suara yang telah lama terabaikan ini. Dadun  sengaja menepi dari hiruk pikuk pusat kota, mencari tempat di mana kehidupan berdenyut dengan ritme yang berbeda. Ia menemui mereka, para petani yang tanahnya dirampas oleh proyek-proyek raksasa tanpa kompensasi yang layak, meninggalkan mereka tanpa mata pencarian. Ia berdialog dengan para buruh yang haknya diinjak-injak, upah mereka dipangkas, dan keselamatan mereka diabaikan demi keuntungan segelintir pengusaha rakus. Ia juga bertemu para ibu yang anaknya men...

Politik Kekuasaan dan Panglima-Panglima Politik

  Oleh Silahudin K ekuasaan adalah medan tarik-menarik yang nyaris tak pernah sepi dari drama. Setiap jengkal peristiwa politik menyisakan jejak perebutan pengaruh. Dari ruang istana hingga ruang pengadilan, dari parlemen hingga panggung media sosial , politik kekuasaan tidak hanya hidup, te tapi tumbuh subur dalam berbagai bentuk yang kadang halus, kadang kasar, bahkan kadang melampaui batas logika demokrasi. Hari-hari ini, sebagai s alah satu contoh mutakhir ,  adalah bagaimana sejumlah aktor politik , dalam tulisan ini saya sebut sebagai panglima-panglima politik , bermain di balik layar terkait putusan Mahkamah Konstitusi   Nomor 135/PUU-XXII/2024  yang berhubungan dengan  pemisahan pemilu nasional (presiden, DPR, DPD) dan pemilu lokal (pilkada, DPRD) . Putusan MK tersebut sebagai produk hukum yang mengikat, mesti dihormati sebagai produk institusi independen , akan tetapi, para panglima , justru terkesan memelintir, mengaburkan, bahkan melemahkan legitimasi...