Langsung ke konten utama

Negara dalam Cermin Retak



MENJUAL HARAPAN - Negara, dalam imajinasi kolektif, adalah rumah bersama. Ia seharusnya menjadi ruang aman, tempat warga berlindung, tumbuh, dan bermimpi. Akan tetapi, ketika cermin negara mulai retak, yang tampak bukan lagi wajah rakyat, melainkan bayangan kekuasaan yang menjauh dari kenyataan.

Retaknya cermin bukan sekadar metafora estetis, tetapi refleksi struktural. Ia menunjukkan bahwa institusi negara tak lagi mampu memantulkan harapan rakyat. Yang tampak adalah distorsi bahwa janji yang tak ditepati, pelayanan yang tak menyentuh, dan kebijakan yang tak berpihak.

Dalam dialog atau obrolan komunitas warga, sering muncul keluhan: “Kami tak merasa punya negara.” Pernyataan ini bukan bentuk apatisme, melainkan ekspresi kekecewaan. Negara hadir dalam slogan, tetapi absen dalam kehidupan sehari-hari. Ia menjadi entitas jauh, tak terjangkau, dan tak peduli.

Cermin retak juga berarti hilangnya transparansi. Ketika warga tak bisa melihat proses pengambilan keputusan, ketika anggaran publik tak bisa diakses, ketika data disembunyikan, maka negara kehilangan wajahnya. Ia menjadi bayangan gelap yang bergerak tanpa arah.

Institusi negara, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan, justru sering menjadi sumber ketidakadilan. Birokrasi yang lamban, hukum yang tak adil, dan pelayanan yang diskriminatif membuat warga merasa terasing. Negara bukan lagi pelindung, tetapi penghalang.

Dalam refleksi filosofis, negara adalah kontrak sosial. Ia lahir dari kesepakatan kolektif untuk hidup bersama. Namun, ketika kontrak itu dilanggar oleh negara sendiri, maka legitimasi pun runtuh. Warga mulai mencari alternatif yaitu: komunitas, solidaritas lokal, bahkan perlawanan.

Retaknya cermin negara juga tampak dalam simbol-simbol yang kehilangan makna. Kantor pemerintahan megah, tetapi kosong dari pelayanan. Seragam pejabat rapi, tetapi tak menyentuh nurani. Upacara berlangsung, tetapi tanpa substansi. Simbol menjadi topeng.

Dalam praktik politik, negara sering kali dikendalikan oleh kepentingan sempit. Oligarki, korporasi, dan elite politik menjadikan negara sebagai alat akumulasi kekuasaan. Warga hanya menjadi angka, bukan subjek. Demokrasi menjadi prosedural, bukan partisipatif.

Ketika negara tak lagi memantulkan wajah rakyat, maka muncul krisis representasi. Wakil rakyat tak lagi mewakili. Kebijakan tak lagi berasal dari suara warga. Forum-forum publik menjadi formalitas. Dialog digantikan oleh monolog kekuasaan.

Cermin retak juga berarti fragmentasi identitas. Warga tak lagi merasa bagian dari negara. Mereka membentuk identitas lokal, komunitas alternatif, bahkan narasi tandingan. Ini bukan ancaman, tetapi respons terhadap negara yang gagal merangkul.

Dalam konteks pelayanan publik, retaknya cermin tampak jelas. Aplikasi dibuat tanpa konsultasi. Program diluncurkan tanpa validasi. Evaluasi dilakukan tanpa mendengar. Negara menjadi produsen kebijakan, bukan fasilitator kehidupan warga.

Retaknya cermin bukan akhir. Ia bisa menjadi awal dari perbaikan. Retakan menunjukkan titik lemah, ruang refleksi, dan peluang transformasi. Kita bisa mulai dari mendengarkan warga, membangun ulang kepercayaan, dan merajut kembali kontrak sosial.

Rakyat, laboratorium kebijakan, upaya untuk memperbaiki cermin. Ia bukan sekadar ruang akademik, tetapi ruang etis. Di sana, negara bisa diuji, dikritik, dan dibentuk ulang. Ia menjadi tempat warga bicara, bukan hanya didikte.

Dalam dialog filosofis, negara bukan entitas tetap, tetapi proses. Ia bisa berubah, berkembang, dan diperbaiki. Namun, perubahan itu harus dimulai dari bawah: dari suara warga, dari pengalaman komunitas, dari luka-luka yang diakui.

Cermin retak juga mengajak kita untuk jujur. Untuk mengakui bahwa negara belum sempurna. Untuk berhenti menutupi dengan retorika. Untuk mulai membangun dengan keberpihakan. Kejujuran merupakan langkah pertama menuju kemerdekaan yang sejati.

Dan mungkin, negara yang ideal bukan yang sempurna, tetapi yang mau mendengar. Yang mau berubah. Yang mau belajar dari rakyat. Negara bukan menara gading, tetapi rumah yang dibangun bersama. Cermin yang utuh adalah cermin yang memantulkan semua wajah.

Episode ini mengajak kita untuk melihat ke dalam cermin, meski retak. Untuk melihat wajah kita sendiri, wajah warga, wajah harapan. Dan dari sana, mulai menyusun ulang negara: bukan dari kekuasaan, tetapi dari keberpihakan. Karena negara adalah kita. (Episode-2 dari Serial Refleksi Kemerdekaan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...