Topeng Pahlawan, Jubah Penindas
![]() |
Ilustrasi sesi 6 dari "Dagelan Politik" |
MENJUAL HARAPAN - Panggung Nusantara, kini penuh dengan paradoks. Mereka yang kemarin mengenakan topeng pahlawan, kini tampil dengan jubah penindas. Mereka yang dulu mengumandangkan janji kebebasan, kini menjadi sipir penjara kebebasan. Si Juru Bicara Berapi-api, yang dulu lantang menyerukan reformasi, kini menjadi penjaga setia status quo. Kata-katanya yang dulu membakar semangat, kini menjadi dingin dan hampa, seperti abu yang tertinggal setelah api padam.
Si Penenun Kata-kata, yang dulu piawai merangkai mimpi-mimpi indah, kini menggunakan kata-katanya untuk membenarkan penindasan dan menutupi kebobrokan. Ia tak ragu memutarbalikkan fakta, mengubah hitam menjadi putih, dan putih menjadi abu-abu. Ia adalah seorang penyihir kata yang mampu membuat kebohongan terdengar seperti kebenaran, dan kebenaran terdengar seperti dongeng belaka.
Para penonton yang dulu mengelu-elukan mereka, kini merasa dikhianati. Mereka seperti anak-anak kecil yang percaya pada dongeng, lalu terbangun dan menyadari bahwa semua itu hanyalah ilusi. Ada kemarahan yang membara di hati mereka, namun kemarahan itu terpendam, tercekik oleh rasa takut dan putus asa. Beberapa di antaranya bahkan mulai berpikir bahwa memang tidak ada gunanya berjuang, karena pada akhirnya semua akan sama saja.
Si Jujur, si kambing putih, melihat perubahan itu dengan jelas. Ia melihat bagaimana tanduk-tanduk kekuasaan mulai tumbuh di kepala mereka, dan bagaimana kuku-kuku mereka mulai tumbuh panjang dan tajam, siap mencakar siapa saja yang menghalangi. Ia melihat bagaimana mata mereka yang dulu berbinar-binar dengan idealisme, kini menjadi kosong dan dingin, hanya memancarkan nafsu dan keserakahan.
Para Dalang Sesungguhnya sangat puas dengan kondisi ini. Mereka telah berhasil menciptakan lingkaran setan di mana kekuasaan melahirkan penindasan, dan penindasan melahirkan kekuasaan. Mereka tahu bahwa jika para pemimpin terlalu jujur dan idealis, maka mereka tidak akan bisa dikendalikan. Oleh karena itu, mereka sengaja memilih orang-orang yang mudah dikorupsi, mudah diombang-ambingkan, dan mudah menjadi boneka. Mereka adalah arsitek dari semua kehancuran ini.
Beberapa penonton yang berani mencoba melawan. Mereka mencoba membongkar jubah penindas itu, menunjukkan kepada dunia bahwa di baliknya adalah topeng pahlawan yang usang. Namun, mereka langsung disambut dengan serangan balik yang membabi buta dari para "penjaga panggung" yang setia. Suara mereka diredam, gerakan mereka dibatasi, dan mereka dicap sebagai musuh negara.
Di tengah kegelapan ini, Si Jujur merasa semakin terpojok. Ia merindukan padang rumput yang jujur, di mana tidak ada topeng dan tidak ada jubah penindas. Ia berharap ada kekuatan yang bisa merobek semua topeng dan jubah itu, mengungkapkan kebenaran yang pahit, namun jujur. Ia hanya bisa mengembik pelan, sebuah doa yang tak pernah terdengar, di tengah riuhnya panggung dagelan yang semakin gelap. (Sesi-6 dari “Dagelan Politik”)