"Reformasi birokrasi Polri masih belum menyentuh Polri menjadi aparat sipil yang profesional, demokratis, menghormati hak asasi manusia, dan akuntabel"
Oleh Silahudin
MENJUAL HARAPAN - Dua puluh enam tahun lalu pada 1999, Polri resmi dipisahkan dari ABRI sebagai salah satu tonggak reformasi pasca-Orde Baru. Harapannya jelas, yaitu Polri menjadi aparat sipil yang profesional, demokratis, menghormati hak asasi manusia, dan akuntabel di mata publik.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian ditegaskan sebagai dasar hukum bagi transformasi ini. Di atas kertas, visi itu mulia. Akan tetapi, dalam praktik, cita-cita tersebut berulang kali dikompromikan oleh budaya kekerasan, dan resistensi internal.
Tragedi Pejompongan pada 28 Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online (ojol) tewas terlindas rantis Brimob di tengah demonstrasi, bukan peristiwa tunggal. Tragedi Pejompongan, hanya satu mata rantai dari luka panjang. Sebelumnya, kita menyaksikan Tragedi Kanjuruhan (2022) yang menewaskan ratusan suporter sepak bola akibat tembakan gas air mata di stadion; peristiwa KM 50 (2020) yang menyisakan kontroversi pembunuhan enam laskar; hingga kekerasan aparat dalam unjuk rasa menolak Omnibus Law (2020). Pola yang sama terus berulang, kekuatan berlebihan digunakan, rakyat sipil menjadi korban, aparat minta maaf, lalu kasus tenggelam tanpa akuntabilitas jelas.
Tentu ini, simbol kegagalan reformasi birokrasi Polri. Dalam tragedi terbaru, simbol kegagalan Polri dalam menginternalisasi prinsip “melindungi dan mengayomi.”
Apalagi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit, hanya bisa menyampaikan: “Saya sangat menyesali… dan mohon maaf sebesar-besarnya” (sebagiamana dikutip dari berbagai sumber media). Permintaan maaf penting, tetapi tanpa pertanggungjawaban struktural, ia hanya formalitas.
Lalu, keberadaan Propam berulangkali jadi jawaban Polri. Tujuh anggota Brimob sudah diamankan (dikutip dari berbagai usmber). Akan tetapi, masyarakat semakin sinis, bukankah pola ini terus berulang? Propam tidak memiliki independensi penuh, sehingga publik meragukan keadilan substantif. Sementara, janji keterlibatan Kompolnas kerap hanya menjadi “pengawas formalitas.” Sistem pengawasan internal tanpa transparansi ibarat hakim yang mengadili dirinya sendiri.
Mengapa reformasi Polri mandek? Pertama, Polri masih memelihara budaya impunitas, di mana aparat jarang menerima hukuman sepadan atas kesalahan fatal. Kedua, Polri masih memiliki jejaring politik-ekonomi yang kuat, membuat mereka sulit disentuh oleh kontrol eksternal. Ketiga, belum ada komitmen serius dari pemerintah dan DPR untuk mendorong restrukturisasi menyeluruh, misalnya dengan membatasi kewenangan berlebihan atau memperkuat mekanisme pengawasan sipil.
Negara Vs Warga
Tragedi Pejompongan memperlihatkan kontras, bahwa negara seolah lebih mengutamakan “stabilitas” daripada keselamatan warganya. Demonstrasi buruh yang menyorot kenaikan biaya hidup, PHK, dan ketimpangan sosial seharusnya dijawab dengan dialog kebijakan, bukan dengan represi jalanan. Aparat keamanan menjadi wajah negara di ruang publik, dan ketika wajah itu bengis, rakyat merasa negara tak lagi menjadi pelindung, melainkan ancaman.
Dalam banyak negara demokrasi, kegagalan aparat yang menyebabkan korban jiwa warga sipil kerap diikuti oleh langkah politik, yaitu pimpinan tertinggi mundur. Bukan karena mereka pelaku langsung, tetapi karena mereka bertanggung jawab penuh atas institusi. Jika Kapolri dan Kapolda serius menjaga kehormatan Polri, maka mundur adalah opsi etis yang harus dipertimbangkan. Sebab reformasi tidak bisa berjalan bila pucuk pimpinan terus berlindung di balik alasan “oknum.”
Memang, apakah reformasi Polri bisa diselamatkan? Jawabannya ya, tetapi dengan syarat. Pertama, membentuk komisi independen yang benar-benar terpisah dari Polri untuk menangani kasus kekerasan aparat. Kedua, merevisi SOP pengendalian massa, agar tidak ada lagi penggunaan kendaraan taktis di ruang publik padat manusia tanpa pengawasan ketat. Ketiga, memperkuat partisipasi sipil dalam pengawasan, baik melalui DPR, LSM, maupun media. Tanpa langkah struktural ini, tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu.
Esensi demokrasi bukan hanya pada pemilu, tetapi juga pada hak rakyat untuk berkumpul dan menyuarakan pendapat tanpa takut kehilangan nyawa. Ketika seorang ojol yang sekadar mencari nafkah bisa tewas di jalan karena negara gagal mengendalikan aparatnya, demokrasi kita terkoyak. Solidaritas ojol yang mengepung Mako Brimob malam itu hanyalah ekspresi dari satu pesan sederhana: keadilan harus ditegakkan.
Tragedi Pejompongan merupakan ujian moral bagi negara. Apakah ia akan menjadi titik balik reformasi Polri, atau sekadar pengulangan siklus impunitas? Jika Polri ingin dipandang sebagai pelindung masyarakat, bukan alat kekuasaan, maka jawabannya hanya satu: akuntabilitas nyata. Dan akuntabilitas tertinggi dimulai dari keberanian pucuk pimpinan untuk bertanggung jawab, bahkan jika itu berarti menyerahkan jabatan.
Silahudin, Pemerhati Sosial Politik, Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung
Komentar