Langsung ke konten utama

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik




Oleh Silahudin

SALAH satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas.

Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR.

RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025).

RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan publik.

Memang, selama ini, paradigma hukum pidana Indonesia, terlalu terpaku pada pelaku, bukan pada kerugian publik yang ditimbulkan. Dengan kata lain, dalam realitas praktiknya, sistem hukum pidana Indonesia lebih sering berfokus pada menjatuhkan hukuman kepada pelaku, ketimbang mengupayakan pemulihan atas dampak dan kerugian yang dialami korban.

Pendekatan tersebut, mencerminkan cara berpikir yang menghentikan proses pada titik kesalahan, tanpa membuka ruang untuk penyembuhan, tanggung jawab sosial, atau keadilan yang menyentuh akar persoalan.

RUU Perampasan Aset menggeser fokus dari penghukuman ke pemulihan, sejalan dengan prinsip keadilan restoratif yang menempatkan korban dan masyarakat sebagai pusat dari proses hukum.

Dalam draf yang beredar, RUU ini mengatur lima tahapan utama, yaitu penelusuran, pemblokiran, penyitaan, perampasan, dan pengelolaan aset. Yang menarik, perampasan dapat dilakukan meski pelaku tidak dihukum, selama aset dapat dibuktikan berasal dari tindak pidana.

Selain itu, pembentukan Lembaga Pengelola Aset (LPA) dalam RUU ini menjadi elemen kelembagaan yang krusial. LPA bertugas mengelola aset rampasan secara profesional, transparan, dan akuntabel.

Tantangannya, terletak pada desain kelembagaan dan kapasitas teknis. Menurut Kaufmann, Kraay, dan Mastruzzi (2009), prinsip tata kelola yang baik menuntut adanya pemerintahan yang efektif, keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, serta mekanisme yang mampu mencegah dan mengendalikan praktik korupsi. Tanpa itu, LPA berisiko menjadi lembaga birokratis yang tidak mampu menjalankan mandatnya.

RUU ini juga membuka ruang kerja sama internasional dalam pemulihan aset lintas negara, sesuai dengan prinsip UNCAC (United Nations Convention Against Corruption). Pasal 51 UNCAC menyebutkan bahwa pengembalian aset adalah prinsip fundamental dalam pemberantasan korupsi.

Implementasi RUU ini tidak akan berjalan mulus tanpa dukungan publik dan legitimasi sosial. Hukum yang tidak dipahami atau tidak dipercaya oleh masyarakat akan sulit ditegakkan. Oleh karena itu, edukasi publik dan pelibatan komunitas dalam pengawasan aset rampasan menjadi kunci. Jadi, mekanisme keberatan, transparansi digital, dan forum komunitas harus menjadi bagian dari ekosistem hukum baru ini.

RUU ini juga membuka peluang untuk redistribusi aset rampasan bagi kepentingan sosial. Dalam arti, model ini menunjukkan bahwa aset rampasan bukan hanya simbol keadilan, melaikan instrmen pemberdayaan masyarakat.

Sebagai instrumen hukum, RUU ini bukan hanya soal teknis perampasan, tetapi juga soal rekonstruksi relasi antara negara dan warganya. Ia menantang kita untuk mendefinisikan ulang keadilan: bukan sekadar menghukum, tetapi memulihkan.

Dengan demikian, dalam konteks ini, RUU Perampasan Aset adalah peluang untuk menata ulang sistem hukum agar lebih berpihak, lebih reflektif, dan lebih bermakna bagi publik.

Jika disahkan dan diimplementasikan dengan desain kelembagaan yang kuat, partisipasi publik yang luas, dan sistem pengawasan yang transparan, RUU Perampasan Aset dapat menjadi tonggak penting dalam reformasi hukum pidana dan tata kelola aset publik di Indonesia. Akan tetapi, jika dibiarkan tanpa pengawalan, ia berisiko menjadi instrumen hukum yang kehilangan makna. Maka, tugas kita bukan hanya mendukung, tetapi juga mengawal.*

Bandung, 8 September 2025

Silahudin, Pemerhati Sosial Politik, Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hegemoni Ekologis

Oleh Silahudin MENJUAL HARAPAN -  RETORITKA pembangunan berkelanjutan, dan jargon hijau tampak kian populer di ruang-ruang kebijakan, akan tetapi, di balik itu juga tersembunyi satu paradoks besar, yaitu alam terus mengalami kerusakan struktural, walau keberlanjutannya digembar-gemborkan.  Pergulatan hidup kita, dalam realitasnya dikonstruksi oleh bahasa, dan narasi yang seolah peduli terhadap lingkungan, namun, secara praksis terus-menerus melegitimasi eksploitasi. Pada titik simpul inilah, letak hegemoni ekologis, bukan hanya dominasi atas alam, tetapi juga dominasi atas cara berpikir tentang alam. Memang, hegemonis ekologis bekerja secara halus melalui wacana yang kita anggap netral, seperti istilah "pemanfaatan sumber daya", "optimalisasi kawasan", atau "efisiensi energi", dan lain sejenisnya. Dalam tataran kerangka tersebut, alam dikonstruksi sebagai objek pasif yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Kepentingan ekonomi diselubungi bahasa sa...

Fiorentina Vs Verona, Udinese Vs Napoli, dan Milan Imbang Lawan Sassuolo

  MENJUAL HARAPAN - Tuan rumah Fieorentina alami kekalahan dari Verona dengan skor gol 1-2 pada pekan ke-15. Fiorentina berada di zona degradasi dengan koleksi 6 poin, sedangkan Verona berada di urutan ke-18 dengan koleksi 12 poin pada klasemenn sementara Serie A pekan kelima belas. Adapun pada pertandingan lainnya, Udinese mengalahkan Napoli dengan skor gol 1-0. Gol semata wayang Udinese dicetak Jurgen Ekkelenkamp, dan kini Udinese berada di urutan ke-10 dengan 21 poin, sementara Napoli sendiri masih bertengger di papan atas urutan ke-3 dengan koleksi 31 poin pada klasemen sementara Serie A pekan ke-15. Sedangakn, Milan menjamu Sassuolo berakhir dengan skor gol 2-2. Masing-masing dua gol itu, AC Milan terlebih dahulu kecolongan gawangnya pada menit ke-13 lewat tendangan Ismael Kone. Namun, tuan rumah AC Milan berhasil menyamakan kedudukan gol 1-1 pada menit ke-34 lewat tusukan Devide Bartesaghi. Selanjutny,a pada menit ke-47, tuan rumah AC Milan berhasil unggul lebih dahulu yang d...

Tata Cara dan Tahapan RPJPD, RPJMD, dan RKPD dalam Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia: Kajian Normatif dan Partisipatif

Silahudin Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung MENJUAL HARAPAN - PERENCANAAN pembangunan daerah merupakan instrumen strategis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui tata kelola pemerintahan yang demokratis, efisien, dan berkeadilan. Dalam konteks Indonesia, sistem ini diatur secara normatif melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diperinci dalam Permendagri No. 86 Tahun 2017. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah terdiri atas tiga dokumen utama: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Ketiganya disusun secara berjenjang, partisipatif, dan berorientasi hasil (UU No. 23/2014, Pasal 258). RPJPD merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka waktu 20 tahun. Ia berfungsi sebagai arah strategis pembangunan daerah yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). RPJPD d...