Keadilan Yang Tak Berwajah
![]() |
Refleksi Kemerdekaan RI ke-80 |
MENJUAL HARAPAN - Keadilan adalah wajah yang seharusnya paling dikenali dari negara. Ia adalah janji yang tertulis dalam konstitusi, nilai yang dijunjung dalam Pancasila, dan harapan yang hidup dalam hati warga. Namun, dalam kenyataan hari ini, keadilan tak punya wajah—ia tak tampak, tak terasa, dan tak berpihak.
Warga sering bertanya: “Di mana keadilan itu?” Mereka melihat koruptor tersenyum di televisi, sementara pencuri ayam dihukum berat. Mereka melihat tanah mereka diambil tanpa musyawarah, pelayanan publik yang diskriminatif, dan hukum yang tak menyentuh elite. Keadilan menjadi ilusi.
Keadilan yang tak berwajah adalah keadilan yang tak bisa dikenali. Ia hadir dalam pidato, tetapi absen dalam praktik. Ia disebut dalam dokumen, tetapi tak hidup dalam pelayanan. Ia menjadi kata-kata, bukan tindakan.
Dalam refleksi filosofis, keadilan adalah relasi yang adil. Ia bukan hanya soal distribusi, tetapi soal pengakuan, partisipasi, dan keberpihakan. Ketika relasi antara negara dan warga timpang, maka keadilan pun hilang.
Keadilan juga tak hadir dalam sistem hukum. Prosedur lebih penting dari substansi, bukti lebih penting dari konteks, dan pasal lebih penting dari pengalaman. Hukum menjadi mekanis, bukan manusiawi. Keadilan menjadi teknis.
Dalam pelayanan publik, keadilan tak menjadi pedoman. Warga miskin harus antre lebih lama, kelompok rentan tak mendapat prioritas, dan komunitas adat tak diakui. Pelayanan menjadi seragam, bukan kontekstual. Keadilan menjadi formalitas.
Keadilan juga tak hadir dalam kebijakan. Anggaran tak berpihak pada yang lemah, regulasi tak melindungi yang terpinggirkan, dan evaluasi tak melibatkan warga. Kebijakan menjadi teknokratis, bukan etis. Keadilan menjadi angka.
Dalam ruang politik, keadilan menjadi komoditas. Dukungan dibeli, suara dimobilisasi, dan keputusan ditentukan oleh lobi. Warga tak punya pengaruh, tak punya ruang, dan tak punya kendali. Demokrasi kehilangan keadilan.
Keadilan juga tak hadir dalam ruang pendidikan. Anak-anak dari keluarga miskin tak punya akses bimbingan, tak punya perangkat belajar, dan tak punya ruang refleksi. Pendidikan menjadi alat reproduksi ketimpangan.
Dalam dialog dengan berbagai lapisan warga masyarakat, acapkali terekam: “Kami tak minta banyak, hanya diperlakukan adil.” Permintaan ini sederhana, tetapi sulit diwujudkan. Karena sistem tak dirancang untuk berpihak, hanya untuk berjalan.
Akan tetapi, keadilan bisa dihadirkan (kembali). Ia harus dimulai dari pengakuan, dari partisipasi, dan dari keberpihakan. Keadilan bukan soal netralitas, tetapi soal keberanian berpihak pada yang tertindas.
Ruang keadilan harus hidup. Di sana, kebijakan bisa diuji terhadap realitas, pelayanan bisa dirancang secara etis, dan warga bisa menjadi subjek. Keadilan menjadi praksis.
Dalam pendekatan visual, keadilan bisa divisualisasikan sebagai wajah warga. Poster tentang ketimpangan, booklet tentang pengalaman komunitas, dan infografis tentang distribusi layanan bisa menjadi alat advokasi. Visual menjadi ruang gugatan.
Keadilan juga harus masuk dalam kurikulum partisipatif. Anak-anak harus belajar tentang hak, tentang keberpihakan, dan tentang keberanian menggugat. Pendidikan harus membentuk kesadaran etis.
Keadilan yang hidup adalah keadilan yang bisa menangis bersama warga. Yang bisa merasakan luka, memahami konteks, dan bertindak dengan empati. Keadilan bukan hanya soal hukum, tetapi soal kemanusiaan.
Dan mungkin, keadilan yang sejati adalah ketika warga bisa berkata: “Saya merasa dilihat, didengar, dan dihargai.” Ketika mereka tak hanya menjadi objek, tetapi subjek. Keadilan harus punya wajah—wajah rakyat.
Episode refleksi kemerdekaan ini adalah ajakan untuk menghadirkan kembali keadilan. Agar ia tak lagi menjadi abstraksi, agar ia tak lagi menjadi slogan, dan agar ia kembali menjadi komitmen. Karena negara tanpa keadilan adalah negara yang kehilangan legitimasi. (Serie - 15 dari Refleksi Kemerdekaan)