MENJUAL HARAPAN - Hari Pahlawan, 10 November, merupakan penanda krusial dalam kalender bangsa—titik di mana narasi kebangsaan mencapai klimaksnya dalam darah dan keberanian kolektif. Akan tetapi, lebih dari sekadar ritual upacara dan tabur bunga, Hari Pahlawan menuntut sebuah dialog epistemologis: Siapakah pahlawan kita hari ini? Jika pada 1945 pertempuran berlangsung di jalanan Kota Pualam, hari ini, arena juang telah bergeser secara fundamental ke ranah etika, integritas, dan kesadaran sosial. Kita ditantang untuk merobek tirai historisisme dan menghadapi realitas empiris bahwa musuh telah berganti wujud.
Pertempuran Surabaya 1945 mengajarkan kita tentang pengorbanan yang absolut. Di bawah komando tokoh-tokoh karismatik seperti Bung Tomo, rakyat sipil, ulama, dan milisi bersatu dalam satu spirit: Merdeka atau Mati. Mereka menanggapi ultimatum asing dengan penolakan mentah-mentah, mengubah Kota Pahlawan menjadi neraka pertempuran selama tiga minggu. Peristiwa ini adalah puncak kolektivitas, sebuah aksi heroik yang jelas batas musuhnya, jelas tujuannya, dan tegas pengorbanannya—sebuah monumen yang diukir dengan ketulusan yang tak terbantahkan.
Namun, semangat yang begitu murni seringkali terdistorsi oleh masa damai yang panjang. Ketika ancaman eksternal memudar, ancaman internal justru menguat, bersembunyi di balik sistem dan struktur. Di sinilah relevansi alegori sosial hadir: kita tidak lagi menghadapi Senja Merah yang kasat mata, melainkan kabut tipis kepalsuan yang melilit institusi dan hati nurani. Medan pertempuran telah berpindah dari fisik ke moral, dari senjata rampasan ke pena, data, dan kejujuran di ruang-ruang publik.
Secara kritis, tantangan terbesar bangsa hari ini adalah Tembok-Tembok Sunyi. Tembok ini adalah metafora struktural bagi birokrasi yang berbelit, korupsi yang terlembaga, dan ketidakpedulian yang melumpuhkan gerakan sosial. Tembok ini tidak roboh oleh tembakan, melainkan oleh integritas yang konsisten dan desakan transparansi. Keberadaan tembok ini menjadikan kepahlawanan kontemporer jauh lebih kompleks, sebab musuh bersemayam dalam diri dan lingkungan terdekat, bukan di barisan asing.
Refleksi ini membawa kita pada penafsiran kembali sosok Ksatria Bangsa. Ksatria hari ini bukanlah sosok yang gagah di medan perang, melainkan mereka yang berani memegang Tameng Bening—tameng yang terbuat dari keikhlasan dan kejujuran mutlak, menolak kompromi dalam setiap transaksi kekuasaan atau keuntungan. Mereka adalah para Aparatur Sipil Negara yang menolak suap, guru yang mendedikasikan diri di pelosok, atau aktivis lingkungan yang melawan deforestasi tanpa pamrih.
Fenomena ini adalah manifestasi empiris dari Senandung Syahdu yang tak terdengar; warisan spiritual berupa nilai-nilai ketulusan yang terus membimbing. Pahlawan di era digital adalah mereka yang menggunakan Pedang Cahaya—yakni ilmu pengetahuan, data, dan kemampuan kritis—untuk membelah kabut disinformasi dan membangun kesadaran kolektif. Mereka adalah whistleblower yang mempertaruhkan karier demi kebenaran, atau jurnalis investigasi yang gigih membongkar kejahatan tersembunyi.
Kita harus mengajukan kritik keras terhadap praktik peringatan Hari Pahlawan yang cenderung ritualistik. Kita cenderung merayakan patung pahlawan ketimbang nilai-nilai kepahlawanan. Proses formalisasi sejarah ini berpotensi menyebabkan amnesia kolektif, membuat generasi muda teralienasi dari substansi perjuangan itu sendiri. Mengheningkan cipta menjadi formalitas kosong jika ia tidak diikuti dengan refleksi mendalam tentang janji kebangsaan yang belum tertunaikan.
Di sisi lain, terdapat harapan besar pada Benih-Benih Muda—generasi yang tumbuh dengan akses informasi tak terbatas. Mereka tidak hanya mewarisi sejarah kemerdekaan, tetapi juga mewarisi tantangan global. Tugas heroik mereka adalah mengubah Puing-Puing Kaca pengorbanan masa lalu menjadi cermin moral yang memantulkan integritas, menjadikan momentum Hari Pahlawan sebagai pengingat bahwa warisan terbaik bukanlah kekayaan, melainkan karakter.
Sehingga, esensi Hari Pahlawan bukan lagi sekadar mengenang, melainkan sebuah aksi berkelanjutan. Kepahlawanan telah menjadi verb, bukan noun. Ia adalah keberanian harian untuk memilih jalan yang benar, meskipun sepi. Ia adalah komitmen untuk menjaga Mata Air Hening kejujuran agar tidak tercemar oleh kepentingan sesaat, terutama di tengah Rimba Sunyi pasca-revolusi yang penuh dengan godaan material.
Oleh karena itu, pada 10 November, refleksi kritis kita harus bermuara pada satu pertanyaan praktis: Tindakan apa yang kita ambil hari ini untuk mewujudkan Senandung Syahdu dan memastikan Nyala Abadi terus bersinar? Apakah kita hanya penonton sejarah, ataukah kita menjadi Ksatria yang bertarung di medan moral kontemporer?
Akhirnya, menghormati pahlawan bukan berarti membangun tugu yang lebih tinggi, melainkan membongkar Tembok-Tembok Sunyi ketidakadilan dan membangun sistem yang menjunjung tinggi integritas. Mari kita ubah 10 November dari sekadar hari libur nasional menjadi hari komitmen nasional, di mana setiap individu berjanji untuk menjadi pelita dalam perang melawan lupa dan pura-pura, melanjutkan epik pahlawan dengan karya nyata yang beretika. (Sjs_267)
Komentar