“The Muslim world is not a monolith, but it is a mosaic of possibilities.”
— Shadi Hamid, Brookings Institution
MENJUAL HARAPAN - Dalam lanskap geopolitik yang tengah mengalami pergeseran, dunia Muslim tidak lagi hanya menjadi medan konflik atau objek intervensi, melainkan mulai tampil sebagai subjek sejarah yang aktif dan reflektif. Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Jeddah, misalnya, bukan hanya diplomasi bilateral, tetapi juga bagian dari narasi baru: bahwa dunia Muslim sedang menata ulang dirinya sebagai kekuatan moral, ekonomi, dan epistemik.
“Dunia Islam harus membaca peluang geopolitik baru: saat Barat melemah dan Timur menguat. Persatuan adalah kunci.”— Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI), 2025 (liat; HILMI: Dunia Islam Harus Membaca Peluang Geopolitik Baru).
Kebangkitan ini tidak datang dari ruang hampa. Ia lahir dari kelelahan kolektif atas narasi lama yang menempatkan dunia Muslim dalam posisi subordinat—baik dalam ekonomi global, epistemologi pengetahuan, maupun representasi politik. Kini, dengan munculnya pusat-pusat kekuatan baru seperti Arab Saudi, Turki, Indonesia, dan Qatar, kita menyaksikan upaya untuk membangun geopolitik yang berakar pada nilai-nilai Islam progresif.
“Islam adalah satu-satunya agama yang mampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan nilai dasarnya.” — Tuan Guru Abdul Hadi Awang, dalam Syarahan Geopolitik Dunia & Masa Depan Islam (lihat: (PDF) Geopolitik Dunia & Masa Depan Islam - Transkrip Syarahan Tuan Guru Abdul Hadi Awang)
Pertemuan-pertemuan strategis antarnegara Muslim, seperti peluncuran Dewan Koordinasi Agung Indonesia–Arab Saudi, dapat dibaca sebagai bentuk institusionalisasi dari semangat ini. Ia bukan hanya forum teknokratis, tetapi juga simbol bahwa dunia Muslim sedang membangun ruang pertemuan—bukan hanya dalam arti fisik, tetapi juga dalam makna filosofis: pertemuan antara sejarah dan harapan, antara identitas dan tanggung jawab global.
“Narasi Islam berkemajuan harus ditulis ulang oleh umat Islam sendiri, bukan sekadar menjadi catatan pinggiran dalam buku-buku Barat.” — Nashrul Mu’minin, IBTimes.ID (Lihat: Menulis Ulang Sejarah: Membangun Narasi Islam Berkemajuan di Era Modern - Pena Laut - Media Pergerakan Masa Kini)
Namun, kebangkitan ini tidak tanpa tantangan. Fragmentasi internal, nasionalisme sempit, dan ketergantungan pada sistem ekonomi global yang eksploitatif masih menjadi batu sandungan. Seperti diingatkan oleh HILMI, dunia Islam memiliki 70% cadangan minyak dunia, tetapi hanya menghasilkan sekitar 6–8% artikel ilmiah global dan kurang dari 500 peneliti per satu juta jiwa (lihat: HILMI: Dunia Islam Harus Membaca Peluang Geopolitik Baru). Ini menunjukkan bahwa kebangkitan geopolitik harus disertai dengan kebangkitan intelektual dan spiritual.
“Zaman berat melahirkan generasi kuat. Generasi kuat membangun zaman mudah. Zaman mudah melahirkan generasi lemah bila tenggelam dalam hidup mewah.” — Ibnu Khaldun, Muqaddimah.
Maka, narasi baru dunia Muslim bukan tentang dominasi, tetapi tentang pertemuan yang setara. Dunia Muslim tidak sedang meniru model kekuasaan lama, tetapi sedang merumuskan ulang makna kekuasaan itu sendiri—sebagai tanggung jawab, bukan dominasi; sebagai ruang dialog, bukan hegemoni.*
Komentar