MENJUAL HARAPAN - Di negeri bernama Indonesia, janji bukan sekadar kata. Ia adalah mata uang sosial yang diperdagangkan di pasar harapan. Dari lorong kekuasaan hingga ruang kelas, dari mimbar spiritual hingga meja makan rakyat, janji berseliweran seperti angin: kadang menyejukkan, kadang menyesakkan.
Politik adalah panggung utama janji. Setiap musim pemilu, aktor-aktor politik tampil dengan naskah penuh janji: membangun, menyejahterakan, memberantas korupsi. Akan tetapi, setelah tirai ditutup, banyak janji yang tertinggal di panggung, tak pernah turun ke bumi. Rakyat pun belajar satu hal: janji politik adalah retorika, bukan komitmen.
Di ruang pendidikan, janji hadir dalam bentuk konstitusi dan kurikulum. Negara menjanjikan pendidikan yang merata dan bermutu. Namun, anak-anak di pelosok masih belajar di bawah atap bocor, dengan guru yang datang seminggu sekali. Janji pendidikan menjadi puisi yang indah, tapi tak terbaca oleh mereka yang paling membutuhkannya.
Ekonomi pun tak luput dari janji. Pemerataan, kenaikan upah, lapangan kerja—semua dijanjikan dalam pidato dan baliho. Namun, ketimpangan tetap menganga. Kota tumbuh, desa tertinggal. Janji ekonomi menjadi ilusi mobilitas, di mana yang kaya semakin kaya, dan yang miskin tetap menunggu giliran.
Spiritualitas, yang seharusnya menjadi kompas moral, juga dirundung janji yang diingkari. Janji kepada Tuhan, kepada sesama, kepada diri sendiri—sering kali hanya diucapkan dalam doa, tapi tak dijalankan dalam tindakan. Ritual menjadi rutinitas, dan nilai-nilai luhur menjadi dekorasi.
Dalam budaya Indonesia, janji adalah utang. Ia bukan sekadar komitmen, tapi kehormatan. Di Minangkabau, Bugis, Jawa, dan Sunda, janji yang diingkari bisa mencoreng nama keluarga. Namun, dalam praktik sosial, janji sering kali diperlakukan seperti asap: mudah dibuat, mudah dilupakan.
Psikologi sosial menjelaskan bahwa manusia cenderung mengingkari janji ketika merasa tidak diawasi atau tidak mendapat konsekuensi. Sosiologi menambahkan bahwa ketika norma janji dilemahkan oleh sistem, masyarakat akan mengalami anomie—kekosongan nilai.
Memang, tidak semua janji berakhir sebagai utopia. Ada pemimpin yang menepati, guru yang setia, warga yang konsisten. Mereka adalah penjaga api janji, yang menerangi jalan di tengah gelapnya sinisme sosial.
Janji yang ditepati adalah fondasi kepercayaan. Ia membangun jembatan antar manusia, antar institusi, antar generasi. Ia adalah benih peradaban yang tumbuh menjadi pohon keadilan.
Sebaliknya, janji yang diingkari adalah retakan. Ia menciptakan jurang, memicu konflik, dan menumbuhkan apati. Ia adalah racun yang perlahan merusak tubuh sosial.
Maka, janji harus dipulihkan. Bukan dengan retorika baru, tapi dengan tindakan nyata. Janji harus kembali menjadi komitmen, bukan strategi. Ia harus dijaga, ditepati, dan diwariskan.
Karena di negeri yang berharap, janji bukan sekadar kata. Ia adalah harapan itu sendiri. (Sjs_267)
Komentar