MENJUAL HARAPAN - Satu tahun telah berjalan penyelenggaraan pemerintahan yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto - Gibran. Dinamikanya tidak sederhana, termasuk di dalamnya pergantian kabinet merah putih.
Catatan kecil ini ingin menyoroti dalam tiga pilar program, yaitu ekonomi, sosial dan politik transmigrasi, termasuk tantangan keberlanjutannya.
Motor Pertumbuhan: Industrialisasi dan Hilirisasi
Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran ditandai dengan ambisi besar di sektor ekonomi. Hilirisasi industri dijadikan mantra utama, dengan tujuan agar Indonesia tidak lagi sekadar menjadi eksportir bahan mentah, melainkan produsen barang bernilai tambah. Pertumbuhan manufaktur yang mencapai 5,58% (yoy) pada triwulan III-2025 menjadi bukti bahwa mesin ekonomi mulai bergerak lebih cepat dibandingkan pertumbuhan nasional yang berada di angka 5,04%.
Akan tetapi, di balik angka-angka itu, refleksi kritis muncul: apakah pertumbuhan ini benar-benar inklusif? UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat sering kali tertinggal dalam arus industrialisasi besar. Ada risiko bahwa hilirisasi hanya menguntungkan korporasi besar dan investor asing, sementara pelaku usaha kecil tetap berjuang dengan keterbatasan modal dan akses pasar. Industrialisasi memang penting, tetapi tanpa strategi pemerataan, ia bisa menjadi motor yang melaju kencang namun meninggalkan banyak penumpang di belakang.
Program Sosial dan Kualitas Layanan
Di ranah sosial, Prabowo–Gibran mengusung program cepat yang menyentuh kebutuhan dasar rakyat. Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi ikon, menyasar anak sekolah, ibu hamil, dan balita untuk menekan angka stunting. Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda dibangun sebagai simbol pemerataan pendidikan, sementara Cek Kesehatan Gratis (CKG) menghadirkan layanan kesehatan dasar di puskesmas dan rumah sakit daerah.
Survei menunjukkan mayoritas masyarakat puas dengan program-program ini. Angka kemiskinan turun ke rekor terendah 8,47%, dan pengangguran mencapai titik terendah dalam 30 tahun terakhir. Namun, refleksi kritis menuntut pertanyaan lebih dalam: apakah kualitas pendidikan meningkat seiring bertambahnya sekolah? Apakah pemeriksaan kesehatan gratis benar-benar diikuti dengan peningkatan kualitas tenaga medis dan fasilitas? Program sosial yang hanya menambah kuantitas tanpa memperbaiki kualitas bisa menjadi sekadar “vitamin politik”—memberi efek instan, tetapi tidak menyembuhkan masalah struktural.
Transmigrasi sebagai Politik Identitas
Dimensi politik identitas muncul melalui kebijakan transmigrasi. Pemerintah menegaskan bahwa transmigrasi bukan sekadar kebijakan demografis, melainkan turunan dari Asta Cita untuk menjaga NKRI dan memperkuat integrasi bangsa. Narasi ini mengingatkan pada masa Orde Baru, ketika transmigrasi dijadikan alat pemerataan sekaligus kontrol politik.
Di era urbanisasi digital, relevansi transmigrasi patut dipertanyakan. Apakah perpindahan penduduk masih efektif untuk menciptakan kesejahteraan, atau justru mengulang pola lama dengan risiko sosial-ekologis? Politik identitas yang dibangun melalui transmigrasi bisa memperkuat persatuan nasional, tetapi juga berpotensi menyingkirkan keragaman lokal bila tidak dikelola dengan inklusif. Refleksi kritis menuntut agar transmigrasi tidak sekadar menjadi simbol integrasi, melainkan benar-benar menghadirkan kesejahteraan di daerah tujuan.
Persatuan dalam Era Digital
Satu tahun pemerintahan ini juga memperlihatkan bagaimana politik identitas nasional berusaha meneguhkan persatuan di tengah arus globalisasi. Namun, tantangan baru muncul: generasi muda kini lebih terhubung dengan identitas digital global daripada identitas lokal. Transmigrasi mungkin relevan di masa lalu, tetapi kini integrasi bangsa lebih banyak terjadi di ruang virtual. Pemerintah perlu menyadari bahwa membangun identitas nasional tidak cukup dengan memindahkan penduduk, melainkan juga dengan membangun ruang digital yang inklusif, aman, dan produktif.
Tantangan Keberlanjutan
Refleksi akhir dari satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran adalah tentang keberlanjutan. Industrialisasi harus memastikan inklusivitas, program sosial harus meningkatkan kualitas, dan transmigrasi harus relevan dengan tantangan zaman. Tanpa konsistensi, gebrakan cepat ini bisa berhenti sebagai “quick wins” politik yang hanya memberi kesan sesaat.
Satu tahun ini adalah tahun gebrakan. Tetapi pertanyaan besar tetap menggantung: apakah gebrakan ini akan menjadi fondasi transformasi jangka panjang, atau sekadar catatan singkat dalam sejarah politik Indonesia? (Sjs_267)
Komentar