Foto hasil tangkapan layar dari tempo.co |
“Kisah benturan demonstrasi 28 Agustus 2025 yang berujung maut, membuka luka relasi antara warga dan aparat”
MENJUAL HARAPAN - Ba’da magrib, Kamis, 28 Agustus 2025, riuh ribuan massa di sekitar DPR/MPR RI belum benar-benar reda. Di koridor Pejompongan—tanah genting antara Senayan dan Tanah Abang—lampu strobo menyapu jalanan yang penuh serpihan spanduk, botol air, dan sisa gas air mata. Di tengah kepungan itu, sebuah rantis bertanda “BRIMOB” menerobos arus manusia. Detik berikutnya menjadi tragis: seorang pengemudi ojek online (ojol) terserempet, jatuh, dan terlindas. “Mobil tidak berhenti, melainkan terus maju,” kata seorang saksi dalam kesaksian yang beredar malam itu. Peristiwa tersebut memantik gelombang murka publik, terutama komunitas ojol yang merasa “satu jaket, satu nasib.” (lihat: liputan6.com, detik.com).
Kronologi versi lapangan menggambarkan momen kejar-kejaran aparat mendorong massa dari Jalan Pejompongan Raya menuju Bendungan Hilir. Dalam kekacauan, korban—sebagian laporan menyebut ia tengah melintas—tersapu laju rantis dan tubuhnya terseret pada bagian roda depan kanan. Rekaman amatir 90 detik yang beredar memperlihatkan kerumunan berteriak kala kendaraan taktis itu tetap melaju. Fragmen-fragmen visual ini menegaskan betapa cepat eskalasi bisa berubah dari pembubaran menjadi tragedi. (lihat: voi.id).
Informasi identitas korban sempat simpang siur dalam hitungan jam—sebuah gejala lazim di tengah situasi krisis. Detikcom menulis nama “Affan Kurniawan,” sementara laporan awal VOI menyebut nama lain. Dalam kondisi seperti ini, kaidah verifikasi ganda menjadi penting untuk memisahkan kabar awal (breaking) dari konfirmasi resmi. Namun keduanya sepakat pada substansi: seorang pengemudi ojol tewas akibat terlindas rantis Brimob pada Kamis malam itu. (lihat: detik.com, voi.id)
Di ranah kebijakan dan penegakan etik, respons cepat datang dari kepolisian. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan penyesalan mendalam dan memerintahkan investigasi menyeluruh oleh Divisi Propam. “Saya sangat menyesali… dan mohon maaf sebesar-besarnya,” ujarnya, sembari menekankan pengusutan tuntas. Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri pun menyampaikan permohonan maaf resmi di RSCM dan berjanji transparansi. Kutipan-kutipan ini penting, bukan sekadar retorika, melainkan komitmen yang bisa diuji publik dalam proses berikutnya. (Ernes, 2025; Putra & Prastiwi, 2025). (Lihat: detik.com, liputan6.com).
Di level teknis, Divisi Propam mengamankan tujuh anggota yang berada di dalam rantis saat insiden. Pemeriksaan gabungan—Propam Mabes dan Korbrimob—dijalankan di Mako Brimob Polda Metro Jaya, Kwitang. “Pelaku tujuh orang sudah kita lakukan pemeriksaan… kendaraan sudah diamankan,” kata Kadiv Propam Irjen Abdul Karim. Detail operasional seperti jumlah personel di dalam kendaraan dan lokasi pemeriksaan memperlihatkan bahwa proses akuntabilitas mulai bergerak dari level pernyataan menuju tindakan administratif dan hukum. (Lihat: liputan6.com)
Di jalanan, reaksi sosial berlangsung spontan. Ratusan pengemudi ojol mengepung Mako Brimob pada malam yang sama, menuntut keadilan bagi rekan seprofesi. Rasa solidaritas—yang di komunitas ojol kerap diringkas dalam semboyan “satu aspal”—berubah menjadi mobilisasi politik moral: menuntut transparansi investigasi, penghukuman pelaku, dan perbaikan standar pengendalian massa. Spiralisme aksi-reaksi itu mempertebal tensi antara negara (sebagai penjamin keamanan) dan warga (sebagai pemegang hak untuk menyatakan pendapat di muka umum). (Putra & Prastiwi, 2025). (Lihat: liputan6.com).
Secara empirik, insiden ini terjadi dalam konteks demonstrasi buruh besar yang menyorot biaya hidup, PHK massal, dan kebijakan upah serta tunjangan pejabat yang memicu rasa ketidakadilan. Organisasi hak asasi mendesak agar aparat menghindari “kekuatan berlebihan” dan mematuhi prinsip proporsionalitas. Dengan kata lain, tata kelola crowd control jadi sorotan: dari perencanaan rute evakuasi, buffer zone, hingga protokol kendaraan taktis di ruang padat manusia. (Lihat: theaustralian.com.au).
Dalam perspektif keselamatan, ada tiga simpul krusial yang pantas diaudit. Pertama, manajemen jarak antara kendaraan taktis dan kerumunan, terutama pada koridor sempit dengan hambatan visual. Kedua, aturan berhenti-darurat (emergency stop) ketika terdeteksi korban jatuh di depan lintasan. Ketiga, komunikasi situasional lintas satuan—pasukan darat, pengemudi rantis, dan komando—agar tidak terjadi “tunnel vision” ketika tekanan lapangan meningkat. Tiga simpul ini bukan hanya prosedur, melainkan pagar etik untuk mencegah hilangnya nyawa warga yang dilayani negara. (Lihat: detik.com, liputan6.com)
Dari sisi hukum, janji transparansi mesti diukur dengan parameter yang jelas: publikasi kronologi resmi yang rinci, status hukum pengemudi rantis dan komandan lapangan, serta pemulihan bagi keluarga korban—mulai dari biaya rumah sakit hingga kompensasi berbasis regulasi. Kompolnas disebut dilibatkan untuk memastikan independensi pengawasan. Langkah-langkah ini, jika konsisten, dapat mengubah penyesalan institusional menjadi preseden akuntabilitas. (Ernes, 2025). (Lihat: detik.com).
Tragedi 28 Agustus menjadi cermin rapuhnya relasi warga dan aparat saat kebijakan publik diperdebatkan di jalanan. Di satu sisi, hak berkumpul dan menyampaikan pendapat adalah pilar demokrasi; di sisi lain, mandat aparat adalah menjaga keselamatan semua orang—demonstran, pengguna jalan, dan petugas sendiri. Setelah nyawa seorang pekerja hilang di aspal ibu kota, ukuran kita bukan lagi seberapa lantang permintaan maaf di podium, melainkan seberapa sistematis negara mencegah pengulangan: memperbaiki SOP, melatih empati taktis, dan memberi keadilan yang nyata, bukan simbolik. (Lihat: liputan6.com, detik.com). (S_267)
Komentar