Langsung ke konten utama

KPK dan Paradoks Penindakan


Oleh Silahudin
Pemerhati Sosial Politik, Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung

SETIAP kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), publik menyambutnya dengan gegap gempita. Nama pejabat publik terpampang di media, jumlah uang yang disita pun menjadi sorotan, dan masyarakat kembali berharap bahwa korupsi akan berkurang. Akan tetapi, harapan itu cepat pudar ketika OTT berikutnya terjadi lagi di lembaga berbeda, dengan pola yang sama. OTT seolah menjadi ritual penindakan yang berulang, bukan alat pencegahan yang efektif.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, apakah KPK telah terjebak dalam peran sebagai algojo hukum semata? Memang, penindakan penting, namun jika tidak diimbangi dengan strategi pencegahan dan perubahan perilaku birokrasi, maka KPK hanya menjadi pemadam kebakaran yang datang setelah api membakar semuanya. Korupsi terus berulang, dan OTT menjadi tontonan yang kehilangan daya cegah.

Dalam satu tahun terakhir, KPK telah melakukan lebih dari sepuluh OTT terhadap pejabat publik, termasuk kepala daerah dan pejabat kementerian. Salah satu kasus yang menyita perhatian, penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid, yang diduga menerima setoran dari proyek infrastruktur. Kasus ini bukan yang pertama, dan tampaknya bukan yang terakhir. Pola korupsi yang terulang menunjukkan bahwa OTT belum menyentuh akar masalah.

Pakar hukum tata negara, Refly Harun, pernah menyatakan bahwa OTT adalah “shock therapy” yang tidak cukup untuk membangun sistem antikorupsi. Menurutnya, “KPK harus lebih banyak melakukan pencegahan dan pendidikan publik, bukan hanya penindakan.” Pernyataan ini menggambarkan kegelisahan banyak pihak terhadap orientasi KPK yang terlalu fokus pada penindakan.

Padahal, KPK memiliki mandat pencegahan yang kuat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Akan tetapi dalam praktiknya, fungsi ini seringkali terpinggirkan. Sosialisasi antikorupsi tidak massif, tidak menyentuh birokrasi daerah, dan tidak membangun kesadaran kolektif.

Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2024 mencatat bahwa efektivitas pencegahan KPK menurun sejak revisi UU KPK. Fungsi supervisi dan koordinasi terhadap aparat penegak hukum lain menjadi lemah, dan pencegahan tidak menjadi prioritas. OTT menjadi wajah dominan KPK, sementara edukasi dan reformasi sistem tenggelam dalam bayang-bayang penindakan.

OTT yang berulang juga menunjukkan bahwa korupsi bukan sekadar soal moral individu, tetapi soal sistem yang cacat. Ketika pejabat merasa aman selama “setoran” lancar, dan jabatan diperoleh melalui patronase, maka korupsi menjadi bagian dari mekanisme kerja. Dalam konteks ini, penindakan tidak cukup, dan yang dibutuhkan adalah rekonstruksi sistem birokrasi.

KPK harus berani keluar dari zona nyaman penindakan menuju zona transformasi integritas. Ini berarti membangun kemitraan dengan birokrasi daerah, melakukan audit budaya organisasi, dan mendesain ulang insentif birokrasi. Promosi jabatan harus berbasis kinerja dan integritas, bukan loyalitas politik atau kesediaan menyetor.

Salah satu contoh keberhasilan pendekatan pencegahan adalah program “Jaga Desa” yang melibatkan masyarakat dalam pengawasan dana desa. Program ini menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan, maka ruang korupsi bisa dipersempit. KPK perlu memperluas model ini ke sektor lain, termasuk pengadaan barang dan jasa serta rotasi jabatan.

Digitalisasi birokrasi juga harus menjadi prioritas. Sistem e-budgeting, e-procurement, dan e-performance dapat mengurangi ruang gelap dalam proses birokrasi. Namun, teknologi saja tidak cukup, harus ada komitmen politik dan kepemimpinan etis yang menjadi teladan.

KPK bukan hanya lembaga hukum, tetapi simbol harapan publik terhadap pemerintahan yang bersih. Jika KPK hanya menjadi algojo hukum, maka harapan itu akan berubah menjadi skeptisisme. KPK harus menjadi arsitek integritas, yang membangun sistem dan budaya antikorupsi secara berkelanjutan.

Korupsi adalah cermin retak dari birokrasi kita. Untuk memperbaikinya, kita tidak cukup hanya mengganti aktor, tetapi harus mengubah panggungnya. Reformasi birokrasi bukan sekadar teknokratis, tetapi harus menyentuh jantung budaya dan struktur kekuasaan. Karena di sanalah korupsi tumbuh, dan di sanalah pula ia harus dihentikan.* 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tata Cara dan Tahapan RPJPD, RPJMD, dan RKPD dalam Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia: Kajian Normatif dan Partisipatif

Silahudin Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung MENJUAL HARAPAN - PERENCANAAN pembangunan daerah merupakan instrumen strategis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui tata kelola pemerintahan yang demokratis, efisien, dan berkeadilan. Dalam konteks Indonesia, sistem ini diatur secara normatif melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diperinci dalam Permendagri No. 86 Tahun 2017. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah terdiri atas tiga dokumen utama: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Ketiganya disusun secara berjenjang, partisipatif, dan berorientasi hasil (UU No. 23/2014, Pasal 258). RPJPD merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka waktu 20 tahun. Ia berfungsi sebagai arah strategis pembangunan daerah yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). RPJPD d...

Persita Tangerang Gulingkan Trend Positif PSIM Yogyakarta

  MENJUAL HARAPAN - Pekan kedelapan BRI Super League 2025/2026, menjadi momen keberuntungan Persita Tangerang saat menjamu tim PSIM Yogyakarta yang berlangsung di Stadion Indomilk Arena, Tangerang, Jumat (17/10/2025). Pendekar Cisadane menggulingkan trend positif PSIM Yogyakarta dengan kemenangan 4-0. Eber Bessa menggolkan gol pembuka atas operan pemain setimnya Rayco Rodriguez   pada menit ke 23. K edudukan 1-0 ini tidak alami perubahan lagi hingga pertandingan turun minum. U sai istirahat, kedua kesebelasan kembali ke lapangan, tuan rumah Persita Tangerang yang sementara sudah unggul 1-0 atas PSIM Yogayarkta, tampak aksi-aksi serangannya terus menekan pertahanan tim lawan. S erangan demi serangan para pemain Pendekar Cisadane ini akhirnya kembali membobol gawang kiper PSIM pada meint ke-70 yang dicetak oleh Rayco Rodriguez . S udah unggul 2 gol, Persita Tangerang makin agresif melakukan serangan demi serangannya, kendati para pemain PSIM berusaha menghadangnya, namun hadanga...

Persib Tunjukkan Mental Juara, Bhayangkara FC Raih Kemenangan Penting

MENJUAL HARAPAN  - Senin, 27 Oktober 2025, menjadi malam yang penuh drama dan kejutan di panggung Super League 2025/2026. Dua pertandingan yang menyedot perhatian, Persib Bandung melawan Persis Solo  dan Bhayangkara FC versus Persijap Jepara , berakhir dengan skor identik 2-0 untuk tim tuan rumah. Namun, cerita di balik angka tersebut menyiratkan narasi yang berbeda, terutama dari sisi mentalitas dan efektivitas. Persib Bandung 2-0 Persis Solo: 'Maung Bandung' Menang Dramatis dengan 10 Pemain Pertarungan antara Persib Bandung dan Persis Solo di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) bukan sekadar perebutan tiga poin, melainkan pembuktian karakter. Kemenangan 2-0 yang diraih oleh "Maung Bandung" ini terasa lebih heroik karena mereka harus bermain dengan 10 orang sejak babak pertama. Persib memulai laga dengan agresif. Hasilnya, gol cepat tercipta di menit ke-12 melalui aksi ciamik Luciano Guaycochea . Akan tetapi, petaka datang tak lama berselang. Guaycochea, sang pe...