Hukum yang Gagap Bahasa Rakyat
MENJUAL HARAPAN - Hukum, dalam idealnya, adalah bahasa keadilan. Ia seharusnya bisa dipahami oleh semua, menjadi pelindung yang adil, dan menjadi alat pembebasan. Akan tetapi, dalam realitas praktiknya, hukum sering kali berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti rakyat, bahasa teknokratis, formal, dan jauh dari pengalaman sehari-hari.
Warga sering kali merasa asing di hadapan hukum. Mereka tak tahu prosedur, tak paham istilah, dan tak punya akses. Ketika mereka mencoba bicara, hukum tak mendengar. Ketika mereka meminta perlindungan, hukum justru menghakimi. Bahasa hukum menjadi tembok, bukan jembatan.
Dalam dialog komunitas, muncul keluhan: “Kami tak tahu bagaimana membela diri.” Ini bukan soal ketidaktahuan, tetapi soal sistem yang tak inklusif. Hukum dirancang untuk mereka yang punya kuasa, bukan untuk mereka yang tertindas. Ia menjadi alat eksklusi.
Hukum yang gagap adalah hukum yang tak mampu menangkap kompleksitas realitas. Ia terlalu kaku, terlalu prosedural, dan terlalu birokratis. Ketika warga menghadapi kekerasan, hukum sibuk mencari bukti. Ketika warga digusur, hukum bicara soal legalitas, bukan keadilan.
Dalam praktiknya, hukum sering kali berpihak pada yang kuat. Korporasi bisa menyewa pengacara, elite bisa memanipulasi regulasi, dan pejabat bisa menghindari jerat. Sementara warga miskin harus berjuang sendiri, tanpa pendamping, tanpa perlindungan.
Hukum juga gagap terhadap konteks lokal. Ia tak mengenal adat, tak menghargai kearifan komunitas, dan tak mengakui pengetahuan warga. Ketika konflik agraria terjadi, hukum bicara soal sertifikat, bukan soal sejarah tanah. Ketika warga mempertahankan ruang hidup, hukum menyebutnya pelanggaran.
Dalam refleksi filosofis, hukum seharusnya bersifat deliberatif. Ia harus lahir dari dialog, dari pengalaman, dan dari nilai-nilai etis. Akan tetapi, hukum kita terlalu positivistik—mengutamakan teks, mengabaikan konteks. Ia menjadi mesin, bukan nurani.
Bahasa hukum yang formal sering kali menjadi alat intimidasi. Surat panggilan, ancaman pidana, dan pasal-pasal yang rumit membuat warga takut bicara. Hukum menjadi alat represi, bukan ekspresi. Ketakutan menggantikan kepercayaan.
Dalam sistem peradilan, warga miskin sering kali kalah sebelum bertanding. Mereka tak punya akses pengacara, tak tahu prosedur, dan tak punya waktu. Sementara pihak yang kuat bisa memperpanjang proses, memanipulasi bukti, dan memengaruhi hakim. Keadilan menjadi ilusi.
Hukum juga gagap terhadap suara perempuan, anak, dan kelompok rentan. Kekerasan domestik sering kali dianggap urusan pribadi. Eksploitasi anak dianggap biasa. Diskriminasi terhadap disabilitas tak dianggap pelanggaran. Hukum belum menjadi ruang inklusi.
Dalam pelayanan publik, hukum sering kali menjadi alasan untuk menolak. “Tidak sesuai prosedur,” “Belum ada regulasi,” “Harus menunggu keputusan.” Kalimat-kalimat ini menjadi mantra birokrasi yang membungkam inisiatif warga. Hukum menjadi penghalang, bukan fasilitator.
Namun, hukum bisa berubah. Ia bukan entitas tetap, tetapi proses sosial. Ia bisa ditafsir ulang, disusun ulang, dan dibentuk ulang. Tapi perubahan itu harus dimulai dari bawah—dari suara warga, dari pengalaman komunitas, dari luka-luka yang diakui.
Ruang tafsir hukum yang baru, hukum bisa diuji terhadap realitas, dibaca ulang dengan etika, dan dirumuskan bersama warga. Hukum tak lagi menjadi milik negara, tetapi milik publik.
Dalam pendekatan visual, hukum bisa dijelaskan dengan infografis, narasi, dan metafora. Ia bisa menjadi cerita, bukan hanya pasal. Ia bisa menjadi pengalaman, bukan hanya dokumen. Bahasa hukum harus diubah agar bisa dimengerti, dirasakan, dan diperjuangkan.
Keadilan bukan soal prosedur, tetapi soal keberpihakan. Hukum harus berpihak pada yang lemah, yang tertindas, dan yang terpinggirkan. Ia harus menjadi alat transformasi sosial, bukan alat pelanggengan kekuasaan. Hukum harus punya hati.
Dan mungkin, hukum yang adil adalah hukum yang bisa menangis bersama warga. Yang bisa merasakan luka, memahami konteks, dan bertindak dengan empati. Hukum bukan hanya soal benar atau salah, tetapi soal manusia dan kemanusiaan.
Episode ini merupakan ajakan untuk menyusun ulang bahasa hukum. Agar ia bisa bicara dengan warga, mendengar suara komunitas, dan menjadi alat pembebasan. Karena hukum yang gagap harus disembuhkan—dengan dialog, dengan keberpihakan, dan dengan keberanian. (Episode-4 dari Serial Refleksi Kemerdekaan)