Langsung ke konten utama

Menyoal Energi Bangsa

Ilustrasi energi (foto hasil tangkapan layar dari gramedia.com)


Oleh Silahudin

ROBOHNYA rezim Soeharto pada bulan Mei 1998, tampak belum membawa pada penyelenggaraan kehidupan politik negara bangsa yang kondusif. Salah guna pemerintahan dalam menata tatanan negara bangsa ini, terutama tata pemerintahan yang baik (good governance) masih jauh dari harapan, bahkan yang dirasakan dan menjadi tontonan justru akrobatik politik elit politik dalam memperebutkan kekuasaan.

Kenyataan dalam kehidupan politik negara bangsa dengan membangun Indonesia yang demokratis, acapkaki terjebak egoisme politik masing-masing.  Dalam bahasa lain, politik mengurus “dapur sendiri” terus-menerus menonjol menjadi tontonan di negeri ini. Sehingga keberadaannya pada lembaga-lembaga negara, baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif belum menyentuh kepentingan publik, namun yang mencolok mereka elit politik “sibuk” melayani diri sendiri untuk kepentingan kelompoknya.

Propaganda politik untuk memertahankan akses-akses kekuasaannya, telah menggeser harapan publik, oleh karena kepastian kehidupan sosial politik, ekonomi dan hukum hanya terpayungi oleh wacana, namun miskin dalam tindak realitasnya. Pada titik simpul ini, kemanakah energi kolektif bangsa ini, atau memang energi kolektif bangsa ini dihambur-hamburkan hanya untuk saling menyelamatkan kepentingan kelompoknya masing-masing?

Pola pembangunan yang telah dipraktekkan selama ini, tampaknya masih jauh dari keinginan mengangkat derajat kemanusiaan, oleh karena memang mengorbankan aspirasi dan partisipasi politik rakyat yang berefek lanjutan pada peradaban politik yang tidak demokratis-mensejahterakan.

Pembangunan dengan mengedepankan emansipatoris partisipasi politik rakyat, secara niscaya patut menjadi konsideransi yang signifikan. Rakyat tidak diasingkan dalam penggodogan pembangunan, melainkan terlibat agar rakyat sendiri merasa memiliki dan bertanggungjawab terhadap kepentingan pembangunan.

Dengan perkataan lain, politik keadilan dan pemerataan (bukan semata-mata pertumbuhan)  sebagai kiblat pembangunan harus mendapat focus of interest yang diprioritaskan. Tanpa merujuk arti penting politik keadilan dan pemerataan, secara niscaya pergualan kehidupan politik negara bangsa yang diskriminatif dan sekaligus eksklusif akan senantiasa terulang kembali. Untuk itulah, harus menjadi kesepahaman kita sebagai bangsa bahwa ketimpangan dan kesenjangan ternyata telah membawa efek pada sendi-sendi kehidupan negara bangsa ini retak.

Konflik elit dengan elit dan konflik elit penguasa dengan rakyat serta konflik rakyat dengan rakyat, tampaknya membutuhkan penyelesaian yang arif. Dalam arti membedah persoalan dan perwujudan solidaritas sosial dan sebangsa sebagai energi kolektif bangsa tak ayal lagi adanya kehendak yang diubah untuk membangun kehidupan politik yang adil dan kepentingan tata pemerintahan yang baik.

Negara sebagai instrumen kolektif sejatinya membangun “proyek pembangunan” untuk kepentingan semua lapisan rakyat dalam wilayah negara ini. Bukan sebalikya, negara ini hanya dijadikan “instrument” untuk memberi keistimewaan sekelompok kecil atau teritorial daerah tertentu. Kiblat pembangunan yang berwajah keadilan sosial dan keadilan teritorial daerah merupakan landasan integral dalam menumbuhkembangkan solidaritas nasional, sehingga keutuhan negara bangsa menjadi urgen untuk dipertahankan.

Dalam arti, penataan kembali “pembauran” sosial politik, ekonomi dan sosial budaya menjadi krusial sebagai modal dasar pembangunan. Karenanya jauh-jauh hari DR. Soejatmiko telah mengingatkan kita bahwa, manusia Indonesia juga memerlukan kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial, solidaritas nasional dan yang meliputi ummat manusia seluruhnya, termasuk golongan-golongan yang lemah dan miskin dan generasi-generasi yang akan datang.

Dengan demikian, sangat relevan mempertanyakan kembali, kemanakah energi kolektif bangsa ini, sehingga persoalan yang menimpa negara bangsa ini masih belum terselesaikan? Ataukah memang enegri-energi tersebut dihambur-hamburkan untuk saling sikut menyalahkan antar elit politik dan menyelamatkan kepentingan kelompoknya masing-masing, sehingga kepentingan negara bangsa yang dibangun dengan politik keadilan dan pemerataan untuk mewujudkan solidaritas sosial dan nasional tak kunjung datang? Entahlah!  
 
(Tulisan ini dimuat di Bandung Ekspres, 24 September 2011)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...