Suara-suara di Balik Tirai
![]() |
Ilustrasi "suara-suara di balik tirai" sesi 7 dari "Dagelan Politik" |
MENJUAL HARAPAN - Meskipun panggung utama dipenuhi riuh rendah drama dan sandiwara, ada suara-suara lirih yang mulai terdengar dari balik tirai. Suara-suara itu bukan berasal dari Para Dalang Sesungguhnya, bukan pula dari Para Pengatur Irama, melainkan dari para pekerja panggung, para penata lampu, para pembuat properti, dan bahkan para petugas kebersihan yang setiap hari membersihkan sisa-sisa kegaduhan di panggung. Mereka adalah suara-suara rakyat biasa yang selama ini terabaikan.
Mereka mulai berbisik, berbagi keluh kesah dan kekecewaan. Mereka melihat langsung bagaimana panggung ini diatur, bagaimana cerita ini direkayasa, dan bagaimana nasib mereka dimainkan begitu saja. Mereka tahu siapa sebenarnya yang bekerja keras di belakang layar, dan siapa yang hanya berpura-pura bekerja di depan panggung. Bisikan-bisikan itu perlahan mulai membentuk sebuah paduan suara, meski masih samar.
“Mereka tahu siapa sebenarnya yang bekerja keras di belakang layar, dan siapa yang hanya berpura-pura bekerja di depan panggung.”
Si Jujur, si kambing putih, merasakan getaran bisikan itu. Ia mendekat, mencoba mendengarkan dengan seksama. Ia melihat kepedihan di mata para pekerja panggung, kelelahan di pundak para penata lampu, dan kekecewaan di wajah para petugas kebersihan. Mereka adalah cerminan dari rakyat jelata yang selama ini hanya menjadi penonton pasif, namun kini mulai menyadari bahwa mereka adalah bagian dari panggung itu sendiri.
Para Dalang Sesungguhnya mulai merasa terganggu dengan bisikan-bisikan ini. Mereka terbiasa dengan keheningan di balik tirai, di mana semua rencana mereka bisa disusun tanpa gangguan. Suara-suara itu bagaikan kerikil-kerikil kecil yang dilemparkan ke kolam tenang, menciptakan riak-riak yang mengganggu ketenangan mereka. Mereka memerintahkan para penari bayangan untuk meredam suara-suara itu, dengan segala cara.
Akan tetapi, semakin diredam, bisikan itu semakin kencang. Seperti api yang disiram minyak, semangat untuk berbicara mulai berkobar di hati para pekerja panggung. Mereka mulai berani menunjuk ke arah Para Pengatur Irama, mempertanyakan setiap janji yang tak pernah terealisasi, dan menuntut keadilan yang tak pernah mereka dapatkan. Ini adalah awal dari sebuah kesadaran, bahwa panggung ini adalah milik mereka juga, bukan hanya milik Para Dalang.
Bahkan kawanan burung pipit dan ikan lele pun ikut merasakan getaran ini. Mereka mulai berani menampakkan diri di panggung, bersuara seolah-olah mengamini bisikan-bisikan di balik tirai. Mungkin, mereka juga merasakan bahwa sudah waktunya untuk mengakhiri dagelan ini, dan mengembalikan panggung ini kepada pemilik aslinya.
“Ia mengembik keras, kali ini bukan karena putus asa, melainkan karena harapan.”
Si Jujur, si kambing putih, tidak lagi merasa sendirian. Ia melihat harapan di mata-mata yang berani bersuara itu. Ia tahu bahwa jika suara-suara itu bersatu, jika mereka berani merobek tirai yang memisahkan mereka dari kebenaran, maka dagelan ini akan segera berakhir. Ia mengembik keras, kali ini bukan karena putus asa, melainkan karena harapan. Sebuah embikan yang mengandung semangat perjuangan, yang perlahan mulai bergema di seluruh penjuru Nusantara. (Sesi-7 dari “Dagelan Politik”)