| Ilustrasi sang jati diri (foto hasil tangkapan layar dari leonardointeractive-com) |
MENJUAL HARAPAN - Mentari menelusup tirai jendela kamar tua, membangunkan Raka dari mimpi-mimpi liarnya. Hari ini, ia akan memulai odiseinya sendiri. Bukan melintasi samudra biru seperti Ulysses dalam kisah klasik, melainkan menjelajahi labirin batinnya yang selama ini terkunci rapat.
Raka selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Pekerjaan mapan, teman-teman yang ramah, bahkan keluarga yang menyayangi tak mampu mengisi kekosongan itu. Ia merasa seperti kapal tanpa tujuan, terombang-ambing di lautan rutinitas. Pagi itu, secarik kertas lusuh yang ia temukan di laci peninggalan kakeknya mengubah segalanya: "Temukan dirimu di dalam perjalanan, bukan di tujuan."
Kalimat sederhana itu menusuk relung hati Raka. Ia memutuskan untuk cuti, meninggalkan hiruk pikuk kota, dan memulai perjalanan solo ke pedalaman. Bukan tempat wisata populer, melainkan desa-desa terpencil yang konon masih menjaga kearifan lokal.
Perjalanan itu penuh dengan tantangan. Ia pernah tersesat di hutan, kelaparan, bahkan menghadapi cuaca ekstrem. Namun, di setiap kesulitan, Raka menemukan pelajaran berharga. Ia belajar bersabar saat menunggu bantuan, belajar menghargai setiap tetes air bersih, dan belajar menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan.
Di sebuah desa terpencil, ia bertemu seorang sesepuh bijak. Mata tuanya memancarkan kedamaian. "Nak," ujar sesepuh itu, "odyssey bukanlah tentang seberapa jauh kau berjalan, melainkan seberapa dalam kau menyelami dirimu sendiri."
Raka menceritakan kegelisahannya. Sesepuh itu hanya tersenyum. "Kau mencari jawaban di luar, padahal kuncinya ada di dalam. Setiap pengalaman, baik buruk sekalipun, adalah cerminan dari dirimu."
Malam itu, di bawah taburan bintang, Raka merenung. Ia menyadari, selama ini ia terlalu sibuk mengejar ekspektasi orang lain, mencoba menjadi apa yang masyarakat inginkan. Ia telah melupakan jati dirinya. Perjalanan ini bukanlah untuk menemukan jawaban dari luar, melainkan untuk menerima dan memahami siapa dirinya seutuhnya.
Ia kembali ke kota dengan hati yang lapang. Kekosongan itu kini terisi oleh rasa syukur dan penerimaan diri. Raka tidak lagi merasa seperti kapal tanpa tujuan, melainkan sebuah kapal yang kini tahu arah, siap mengarungi samudra kehidupan dengan segala pasang surutnya. Odiseinya belum berakhir, namun ia kini tahu, perjalanan sejati adalah tentang menemukan rumah di dalam hati sendiri. (S_267)
Komentar