HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Pancasila yang Terasing



MENJUAL HARAPAN - Pancasila lahir sebagai kesepakatan luhur. Ia bukan sekadar ideologi, tetapi kompas moral bangsa. Lima sila yang dirumuskan bukan hanya kata-kata, melainkan nilai-nilai yang harus hidup dalam setiap kebijakan, pelayanan, dan relasi sosial. Namun kini, Pancasila terasa asing.

Dalam pidato-pidato resmi, Pancasila disebut dengan penuh hormat. Namun dalam praktik, sila-sila itu tak tampak. Keadilan sosial tak terwujud, kemanusiaan dikalahkan oleh prosedur, dan musyawarah digantikan oleh keputusan sepihak. Pancasila menjadi retorika.

Dalam cakap-cakap warga, acapkali terdengar “Kami tak tahu Pancasila itu untuk siapa.” Mereka melihat ketimpangan, diskriminasi, dan pengabaian. Mereka tak merasa dilindungi, tak merasa diakui, dan tak merasa dihargai. Pancasila tak hadir dalam hidup mereka.

Pancasila yang terasing adalah Pancasila yang tak berpihak. Ia dipakai untuk membenarkan kekuasaan, bukan untuk melindungi warga. Ia dijadikan alat kontrol, bukan alat pembebasan. Nilai-nilainya dibekukan, bukan dihidupkan.

Dalam refleksi filosofis, Pancasila adalah etika publik. Ia harus menjadi dasar pengambilan keputusan, dasar relasi antarwarga, dan dasar penyusunan kebijakan. Namun, ketika Pancasila hanya menjadi slogan, ia kehilangan daya transformatifnya.

Sila pertama bicara tentang Ketuhanan, tetapi korupsi merajalela. Sila kedua bicara tentang Kemanusiaan, tetapi kekerasan struktural dibiarkan. Sila ketiga bicara tentang Persatuan, tetapi polarisasi politik dipelihara. Sila keempat bicara tentang Musyawarah, tetapi warga tak diajak bicara. Sila kelima bicara tentang Keadilan, tetapi ketimpangan terus meningkat.

Dalam sistem pendidikan, Pancasila diajarkan sebagai hafalan. Anak-anak diminta mengingat urutan sila, tetapi tak diajak memahami makna. Mereka mengikuti upacara, tetapi tak diajak berdialog. Pendidikan kehilangan dimensi etis.

Pancasila juga dipakai untuk membungkam kritik. Warga yang menggugat dianggap tak Pancasilais, komunitas yang menolak proyek dianggap anti negara. Padahal, menggugat ketidakadilan adalah bentuk tertinggi dari keberpihakan pada Pancasila.

Dalam pelayanan publik, Pancasila tak menjadi pedoman. Prosedur lebih penting dari empati, efisiensi lebih penting dari keadilan, dan teknologi lebih penting dari kemanusiaan. Pelayanan menjadi mekanis, bukan etis.

Pancasila juga terasing dari ruang kebijakan. Regulasi disusun tanpa musyawarah, anggaran tak berpihak pada yang lemah, dan evaluasi tak melibatkan warga. Kebijakan menjadi teknokratis, bukan Pancasilais.

Namun, Pancasila bisa dihidupkan kembali. Ia harus ditafsir ulang secara kontekstual, dijadikan dasar refleksi kebijakan, dan dihubungkan dengan pengalaman warga. Pancasila bukan dogma, tetapi ruang tafsir.

Ruang tafsir Pancasila mesti hidup. Di sana, sila-sila bisa diuji terhadap realitas, nilai-nilai bisa dijadikan pedoman desain kebijakan, dan warga bisa menjadi subjek etika publik.

Dalam pendekatan visual, Pancasila bisa divisualisasikan sebagai ruang keberpihakan. Poster yang menggambarkan sila dalam kehidupan komunitas, booklet tentang tafsir etis, dan infografis tentang praktik keadilan sosial bisa menjadi alat pendidikan. Visual menjadi ruang nilai.

Pancasila juga harus masuk dalam kurikulum partisipatif. Anak-anak harus diajak menafsir, bukan hanya menghafal. Mereka harus diajak berdialog, bukan hanya mengikuti. Pendidikan harus membentuk kesadaran etis.

Pancasila yang hidup adalah Pancasila yang berpihak. Yang membela yang lemah, yang mendengar yang terpinggirkan, dan yang melindungi yang tak bersuara. Pancasila harus menjadi komitmen, bukan hanya simbol.

Dan mungkin, Pancasila yang sejati adalah ketika warga bisa berkata: “Saya melihat keadilan dalam pelayanan, kemanusiaan dalam kebijakan, dan musyawarah dalam keputusan.” Ketika sila-sila itu hidup dalam praktik, bukan hanya dalam teks.

Episode ini adalah ajakan untuk mengembalikan Pancasila ke ruang publik. Agar ia tak lagi terasing, agar ia tak lagi dibekukan, dan agar ia kembali menjadi kompas moral bangsa. Karena bangsa tanpa etika adalah bangsa yang kehilangan arah. (Serie-14 dari Refleksi Kemerdekaan)

Tutup Iklan