Simbol yang Kehilangan Makna
MENJUAL HARAPAN - Simbol adalah bahasa yang tak bersuara. Ia menyimpan makna, mengikat ingatan, dan membentuk identitas. Namun, ketika simbol dipakai tanpa refleksi, ia berubah menjadi ornamen—indah dipandang, tetapi hampa dirasa.
Garuda, merah-putih, Pancasila, lagu kebangsaan—semua merupakan simbol yang diwariskan. Mereka bukan sekadar lambang, tetapi janji. Janji tentang keberanian, tentang keadilan, tentang kebersamaan. Tapi janji itu kini terdengar samar.
Dalam dialog dengan ragam warga sering berkata: “Kami hormat pada bendera, tapi negara tak pernah hormat pada kami.” Kira-kira seperti substansinya. Pernyataan ini menggugat relasi antara simbol dan realitas. Simbol diminta dihormati, tetapi tak memberi perlindungan.
Simbol yang kehilangan makna adalah simbol yang tak lagi menyentuh kehidupan. Ia hadir di dinding kantor, di seragam pejabat, di buku pelajaran, namun tidak hadir dalam pelayanan, dalam kebijakan, dalam relasi sosial. Simbol menjadi formalitas.
Dalam refleksi filosofis, simbol adalah representasi nilai. Ia harus hidup, harus dirawat, dan harus ditafsir ulang. Ketika simbol dibekukan, ia menjadi dogma. Ketika simbol dipakai tanpa makna, ia menjadi manipulasi.
Simbol juga digunakan sebagai alat legitimasi. Proyek pembangunan diberi nama patriotik, kebijakan represif dibungkus dengan jargon kebangsaan, dan kekuasaan dibenarkan dengan lambang negara. Simbol menjadi topeng.
Dalam sistem pendidikan, simbol diajarkan sebagai hafalan. Anak-anak diminta mengingat sila, menyanyikan lagu, dan menggambar lambang. Tapi mereka tak diajak memahami makna, menggali konteks, atau membangun refleksi. Simbol menjadi tugas.
Simbol juga dipakai untuk membungkam kritik. Warga yang menggugat dianggap tak nasionalis, komunitas yang menolak proyek dianggap anti negara, dan suara minoritas dianggap ancaman. Simbol menjadi senjata.
Dalam pelayanan publik, simbol tak menjamin keadilan. Kantor penuh lambang negara, tetapi warga dipersulit. Petugas berseragam, tetapi tak melayani. Simbol hadir, tetapi nilai tak dijalankan. Pelayanan kehilangan ruh.
Simbol juga kehilangan makna ketika tak bisa menjawab zaman. Tantangan baru seperti digitalisasi, krisis iklim, dan ketimpangan sosial tak dijawab dengan refleksi simbolik. Kita terus mengulang seremoni, tanpa menyusun ulang makna.
Namun, simbol bisa dihidupkan kembali. Ia harus ditafsir ulang, dikaitkan dengan pengalaman warga, dan dijadikan alat refleksi. Simbol bukan hanya warisan, tetapi ruang tafsir yang terus berkembang.
Simbol, bisa menjadi ruang tafsir. Karena di sana, lambang negara bisa dibaca ulang secara etis, narasi kebangsaan bisa dibangun dari bawah, dan simbol bisa dikaitkan dengan keberpihakan. Simbol menjadi praksis.
Dalam pendekatan visual, simbol bisa divisualisasikan sebagai ruang makna. Poster yang menggambarkan sila dalam kehidupan warga, booklet tentang sejarah lambang, dan infografis tentang tafsir komunitas bisa menjadi alat pendidikan. Visual menjadi refleksi.
Simbol juga harus masuk dalam kurikulum partisipatif. Anak-anak harus diajak menafsir, bukan hanya menghafal. Mereka harus diajak berdialog, bukan hanya mengikuti. Pendidikan harus membentuk kesadaran simbolik.
Simbol yang hidup adalah simbol yang bisa menangis bersama warga. Yang bisa merasakan luka, memahami konteks, dan berpihak pada yang tertindas. Simbol bukan hanya lambang, tetapi komitmen.
Dan mungkin, simbol yang bermakna adalah ketika warga bisa berkata: “Saya melihat diri saya di dalamnya.” Ketika mereka merasa diwakili, merasa dihargai, dan merasa dilindungi. Simbol harus memantulkan wajah rakyat.
Episode ini merupakan ajakan untuk menghidupkan kembali simbol. Agar ia tak lagi menjadi ornamen, agar ia tak lagi menjadi alat kekuasaan, dan agar ia kembali menjadi ruang nilai. Karena simbol tanpa makna adalah bangsa tanpa jiwa. (Serie-13 dari Refleksi Kemerdekaan)