Pintu Gerbang - Sesi 2: Di Antara Jalan Sunyi dan Padang Kekuasaan
MENJUAL HARAPAN - Hari-hari setelah malam hijriah itu berjalan perlahan, namun tidak kosong. Dalam diam, keresahan menjelma menjadi obrolan, obrolan menjadi naskah, dan naskah menjadi siasat. Di antara mereka -- tiga jiwa muda yang terpantik cahaya malam--hadir tekad yang tak perlu diumumkan, yaitu: mereka akan berpindah dari keluh menjadi gerak.
Di kampus, di bawah bayang mural pahlawan dan kutipan slogan usang, mereka bertiga menyusun semacam “rumah baca jalanan”—bukan untuk menyaingi kelas, tapi untuk memberi ruang bagi wacana yang ditutup di ruang resmi. Buku-buku Pramoedya, karya Ali Shariati, tafsir sosial Al-Attas, hingga pamflet-pamflet kecil dari desa dampingan, bertebaran di meja kayu panjang di lorong fakultas.
“Hijrah bukan soal tempat,” kata si mahasiswi hukum, suaranya menyusup di antara percakapan. “Ini tentang keberpihakan. Kalau kita tetap di dalam sistem yang menindas, bukankah kita bagian dari penindasan itu?”
Sang pemuda penulis fanzine (singkatan dari "fan magazine") menambahkan, “Madinah itu bukan tempat beristirahat. Ia proyek sosial. Kita harus memulainya di sini, meskipun kecil.”
Dan si aktivis desa, dengan mata lelah namun bersinar, hanya mengangguk. Ia tahu bahwa di balik setiap cerita tentang tanah yang dirampas, ada ayat-ayat yang dicabut maknanya, dan hijrah berarti menuliskannya kembali dengan suara orang kecil.
Tak lama, mereka mulai menerbitkan buletin mingguan Hijrah Kecil: testimoni petani, refleksi pelajar, dan opini tentang demokrasi yang diretas uang dan kekuasaan. Tak banyak yang membaca, tapi mereka tahu: benih tak perlu disoraki untuk tumbuh.
Mereka bukan Nabi, bukan sahabat, dan tentu bukan pejuang heroik dalam pengertian konvensional. Tapi mereka tahu betul: tidak semua keberanian perlu panggung, cukup keyakinan dan jalan sunyi yang terus ditempuh.*
Cerita bersambung (cerber) "Pintu Gerbang"
Sesi 1: Malam yang Menggugah Kalender
Sesi 2: Di Antara Jalan Sunyi dan Padang Kekuasaan
Sesi 3: Piagam di Tengah Padang Retak
Sesi 4: Hijrah yang Belum Usai