Langsung ke konten utama

Refleksi Historis, dan Legitimasi Kepemimpinan



MENJUAL HARAPAN - Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya dihadapan Sidang Tahunan MPR RI, 15 Agustus 2025, menjahit masa lalu, masa kini, dan aspirasi masa depan sebagai benang legitimiasi. Presiden dalam pidatonya membuka ruang historis, yaitu Proklamasi 17 Agustus 1945 diposisikan sebagai “momen penting dalam perjuangan panjang bangsa ini…,” titik asal yang terus “menggali” tugas-tugas kenegaraan yang belum tuntas.

Dengan begitu, sejarah bukan sekadar arsip, melainkan sumber daya simbolik yang ditarik ke masa kini untuk meneguhkan mandat (ingat, mandat tak hanya lahir dari suara, tetapi juga dari narasi). Dalam kerangka sosiologi politik, ini serupa dengan apa yang Benedict Anderson sebut sebagai komunitas imajiner ke-kitaan yang diproduksi oleh kisah bersama dan ritus kebangsaan, tempat Proklamasi berfungsi sebagai “mitos pendiri” yang mempersatukan (Anderson, 2016).

Lapisan kedua legitimasi dibangun melalui klaim kontinuitas, yaitu penghormatan kepada para presiden sebelumnya, dan penekanan bahwa kepemimpinan hari ini merupakan mata rantai dari perjalanan panjang republik. Secara retoris, ini meredam dikotomi “rezim lama vs. rezim baru,” menggantinya dengan metafora estafet.

Di sini, Prabowo menempatkan dirinya di rel tradisi kenegaraan yang berkesinambungan, bukan pemutus, melainkan penerus. Secara Weberian, strategi ini menggabungkan unsur legal-rasional (hasil pemilu, institusi) dengan kilau tradisional, warisan historis yang diakui dan dihidupi kolektif (Weber, 1978). Pendekatan semacam itu kerap efektif dalam masyarakat yang menghargai stabilitas simbolik negara.

Pidatonya, tidak berhenti pada kontinuitas, Prabowo juga menegaskan performa institusional sebagai sumber legitimasi. Prabowo menyebut peralihan kekuasaan dari Presiden Joko Widodo yang “berjalan lancar” sebagai bukti “demokrasi kita matang dan kuat,” bahkan dikisahkan ada pertanyaan internasional, “How did you do it?” Narasi ini menggeser legitimasi dari sekadar asal-usul historis menuju pembuktian kinerja, legitimasi melalui kapasitas negara mengelola konflik, mencegah polarisasi, dan memastikan stabilitas prosedural. Dalam optik  Habermas, itu upaya mencegah “krisis legitimasi” yang muncul ketika klaim moral/publik institusi tak sejalan dengan kinerja faktualnya (Habermas, 1975).

Kemudian, di saat yang sama, Prabowo melabel demokrasi Indonesia sebagai “demokrasi yang sejuk,” istilah yang mengandung estetika politik, yaitu demokrasi tak harus gaduh, ia bisa dipraktikkan sebagai tata laku yang mengutamakan tenang, menghindari eskalasi. Secara sosiologis, ini penegasan etika kewargaan yang memperkuat hegemoni negara melalui persetujuan, bukan semata paksaan. Akan tetapi, konsep “sejuk” menyimpan sisi kritis, yaitu apakah kesejukan berarti inklusif dan deliberatif, atau berpotensi membekukan konflik yang sah (grievances) menjadi heningnya konsensus? Dilema ini bersinggungan dengan peringatan O’Donnell tentang demokrasi delegatif, ketika legitimasi pemilu diterjemahkan sebagai cek kosong bagi eksekutif, sementara pluralisme dan akuntabilitas melemah (O’Donnell, 1994).

Dalam bingkai “state-in-society” ala Migdal, legitimasi yang lestari menuntut lebih dari wacana, ia diuji di medan relasi negara–masyarakat yang berlapis: birokrasi, pasar, komunitas lokal, organisasi keagamaan, hingga media. Klaim kesejukan mesti berjumpa dengan kapasitas negara “menembus” jaringan sosial, menetapkan aturan main yang adil, dan merespons resistensi tanpa mendelegitimasi oposisi (Migdal, 2001). Dengan kata lain, refleksi historis memberi modal simbolik; tetapi legitimasi harus dirawat lewat tata kelola yang konsisten, transparansi, dan ruang partisipasi yang nyata.

Refleksi historis juga menjadi arena pembentukan memori kolektif. Dengan mengikat agenda kekinian pada Proklamasi, pidato ini memproduksi horizon moral-politik, “untuk apa negara ada” dan “ke mana ia menuju.” Anderson mengingatkan, bangsa adalah “komunitas terbayang”; karena itu, siapa yang mengelola imajinasi, melalui kurikulum, upacara, atau pidato kenegaraan, ikut menentukan bentuk legitimasi. Intervensi historis presiden dapat memobilisasi solidaritas, akan tetapi, berisiko memonopoli tafsir sejarah jika tidak menyisakan ruang bagi memori tandingan (Anderson, 2016).

Dari perspektif “bringing the state back in” (Skocpol), penting menilai bukan hanya narasi, tetapi konfigurasi kelembagaan yang menopangnya: koalisi politik, kapasitas fiskal, dan otonomi relatif birokrasi. Legitimasi kepemimpinan akan menguat bila negara mampu mengonversi simbol sejarah menjadi kebijakan publik yang terukur, sebaliknya, jurang antara retorika kontinuitas dan realitas distribusi manfaat (pemerataan), akan menggerus kepercayaan (Skocpol, 1985). Pada titik simpul ini, ukuran kesejukan demokrasi tak lain adalah seberapa adil negara mengalokasikan sumber daya, siapa yang diikutsertakan, siapa yang tertinggal.

Oleh karena itu, kekuatan utama pidato ini terletak pada upaya mengikat legitimasi ke tiga poros: asal-usul (Proklamasi), kontinuitas (estafet kepemimpinan), dan performa (transisi damai, etos “sejuk”). Kelemahannya, jika ada, adalah potensi “over-reliance” pada integrasi simbolik tanpa ekuivalen institusional yang konsisten melindungi otonomi warga dan oposisi atau penyeimbang. Legitimasi yang tahan lama mensyaratkan dialektika: negara memimpin imajinasi kolektif, tetapi juga membiarkan masyarakat menegosiasikan makna kebangsaan secara otonom, sehingga “sejuk” bukan eufemisme untuk sunyi, melainkan tanda kedewasaan demokrasi yang hidup, kritis, dan setara.* (Silahudin, Pemerhati Sosial Politik)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengawasan Melekat (Waskat)

silahudin Ada ragam pengawasan dalam penyelenggaraan roda pemerintahan, dan salah satunya adalah pengawasan melekat. Pengawasan melekat disingkat WASKAT merupakan salah satu kegiatan manajemen dalam mewujudkan terlaksananya tugas-tugas umum pemerintah (an) dan pembangunan. Waskat, sesungguhnya merupakan kegiatan manajemen sehari-hari yang dilakukan oleh pipinan atau atasan instandi pemerintah dalam setiap satuan unit kerjanya. Apa itu pengawasan melekat? dapat disimak pada video ini.

Menyelami Makna Peribahasa Sunda "Asa Peunggas Leungeun Katuhu"

   Ilustrasi Jenis Pakaian Adat Sunda (Foto tangkapan layer dari  https://learningsundanese.com/pakaian-adat-sunda-jenis-jenis-dan-makna-simbolik/ ) Menjual Harapan – Pergulatan pergaulan kehidupan taubahnya berdampingan antara baik dan buruk. Ragam situasi buruk perlu dihindari, karena berakibat buruk pada khususnya diri sendiri, bahkan dalam kehidupan masyarakat, dan negara. Menelusuri mencari sumber masalah yang menimbulkan situasi buruk tersebut dan menemukannya, berarti setidakanya setengah telah mengatasi situasi tersebut. Ada dalam peribahasa Sunda yang populer, yaitu “Asa peunggas leungeun katuhu” . Secara harfiah berarti “harapan di ujung tangan kanan”. Pesan filosofisnya peribahasa Sunda ini mengajarkan pentingnya mempunyai harapan dan tekad kuat dalam menghadapi berbagai situasi yang sulit. “Leungeun katuhu” (tangan kanan) disimbolkan atau dilambangkan sebagai kekuatan dan kemampuan untuk mencapai tujuan. Iman Budhi Santoso (2016: 601) menjelaskan makna dari ...

Konsistensi Cendekiawan “Memanusiakan” Peradaban

Ilustrasi gambar seorang cendekiawan (Foto hasil proses chat gpt) MENJUAL HARAPAN - Pergulatan berbagai kehidupan negara bangsa ini (nation state) , tampak nyaris tidak lepas dari sorotan kritisi cendekiawan.  Kaum cendekiawan terus bersuara dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti dalam sosial politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sejenisnya.  Sosok kehadiran cendekiawan di tengah pergulatan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara tak dapat ditampik, niscaya selalu berkontributif.  Kehadirannya memiliki peran dan fungsi yang strategis, oleh karena kehadirannya senantiasa hirau dan peduli terhadap permasalahan-permasalahan bangsa demi menjunjung derajat kemanusiaan. Dalam bahasa lain, seseorang yang merasa berkepentingan untuk memikirkan secara rasional dan sepanjang pengetahuannya tentang bangaimana suatu masyarakat atau kemanusiaan pada umumnya bisa hidup lebih baik.  Oleh karena, setiap bangsa dan negara secara langsung atau tidak langsung memutuhkan peran...