Langsung ke konten utama

Negara, Kontrak Sosial dan Jalan Terjal Menuju Nol Persen Kemiskinan


 

Oleh Silahudin

MENJUAL HARAPAN - Dalam pidatonya Presiden Prabowo di Sidang Tahunan MPR, 15 Agustus 2025, menegaskan misi ambisius, yaitu penurunan kemiskinan ekstrem menuju 0% dalam waktu sesingkat-singkatnya. Janji ini bukan sekadar target statistik, melainkan simbol moral negara yang berusaha menunaikan kontrak sosial dengan rakyatnya.

Dalam perspektif sosiologi politik, kemiskinan tidak hanya berarti kekurangan materi, melainkan juga kegagalan negara memenuhi amanat dasar konstitusi: “memajukan kesejahteraan umum” (UUD 1945). T.H. Marshall (1950) menyebut hak sosial, akses pendidikan, kesehatan, dan jaminan hidup layak-sebagai dimensi integral kewarganegaraan. Dengan demikian, komitmen 0% kemiskinan merupakan klaim politik atas legitimasi negara di hadapan masyarakat.

Salah satu instrumen yang diusung adalah Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), yang diklaim mampu memastikan akurasi sasaran kebijakan sosial. Dalam teori administrasi publik, akurasi data adalah fondasi tata kelola yang adil (Denhardt & Denhardt, 2000). Tanpa data, kebijakan mudah terjebak dalam salah sasaran, tumpang tindih, atau bahkan manipulasi politik.

Persoalan yang patut diajukan adalah soal transparansi, yaitu sejauh mana data itu terbuka bagi masyarakat sipil untuk diawasi, atau justru menjadi monopoli birokrasi yang rawan diselewengkan? Dalam perspektif sosiologi politik, kontrol publik terhadap data sama pentingnya dengan program sosial itu sendiri, agar warga bukan hanya penerima pasif, tetapi juga subjek pengawasan demokratis.

Selain itu, Presiden Prabowo dalam pidatonya tersebut, menyinggung pendirian Sekolah Rakyat sebagai sarana pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga termiskin. “Setidaknya 300 Sekolah Rakyat akan kami bangun, agar anak-anak seperti Naila bisa punya harapan,” ujar Prabowo. Strategi ini mencerminkan apa yang Amartya Sen (1999) sebut sebagai capability approach--bahwa pembangunan sejati adalah memperluas kemampuan manusia untuk menjalani kehidupan yang bernilai. Persoalannya, apakah Sekolah Rakyat akan menjadi integratif dengan sistem pendidikan nasional, atau justru menciptakan segregasi baru antara “sekolah orang miskin” dan “sekolah orang mampu”? Jika tidak dikelola inklusif, program ini berpotensi menstigma anak miskin sebagai kelompok terpisah.

Berikutnya, program renovasi rumah layak huni dan peningkatan akses perumahan melalui Tapera dan FLPP mencerminkan dimensi welfare state yang menekankan perumahan sebagai hak dasar warga. Esping-Andersen (1990) menunjukkan bahwa negara kesejahteraan modern tidak cukup menyediakan jaring pengaman minimal, melainkan harus mendorong redistribusi yang mengurangi ketimpangan struktural.

Tantangannya, adalah politik anggaran, apakah belanja sosial yang meningkat akan berkelanjutan tanpa mengorbankan fiskal, atau hanya sekadar injeksi jangka pendek yang rentan dihentikan ketika krisis?

Pidatonya juga, Presiden Prabowo menggarisbawahi perbaikan layanan kesehatan dan pembangunan rumah sakit daerah. Lebih dari 18 juta warga disebut telah memanfaatkan program Cek Kesehatan Gratis. Dari perspektif masyarakat, kesehatan bukan hanya layanan, melainkan simbol kesetaraan, apakah rakyat kecil mendapat akses yang sama dengan kelas menengah-atas. Pierre Bourdieu (1986) mengingatkan bahwa akses kesehatan adalah bentuk capital (modal sosial dan budaya) yang menentukan posisi warga dalam struktur sosial. Dengan demikian, memperluas layanan kesehatan bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal redistribusi modal sosial agar masyarakat tidak terjebak dalam reproduksi kemiskinan antar-generasi.

Memang, dari sisi sosiologi politik negara, program sosial ini sekaligus berfungsi sebagai alat legitimasi politik. Negara menampilkan diri sebagai pelindung rakyat miskin, bukan hanya regulator pasar. Akan tetapi, apakah kebijakan sosial ini diinstitusionalisasi sebagai policy regime yang berkelanjutan, atau sekadar proyek populis yang melekat pada figur presiden. Sebagaimana diingatkan Migdal (2001), negara yang kuat adalah negara yang mampu membangun institusi yang menembus masyarakat, bukan hanya tampil lewat retorika simbolis. Tanpa institusionalisasi, legitimasi yang lahir dari program sosial akan bersifat rapuh dan temporer.

Dengan demikian, catatan reflektifnya, gagasan “0% kemiskinan ekstrem” merupakan horizon moral, sekaligus tantangan struktural. Oleh karenanya, menuntut koordinasi lintas lembaga, keberanian politik melawan rente, dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan. Jika berhasil, negara tidak hanya memperkuat legitimasi politik, tetapi juga membangun kontrak sosial baru yang lebih egaliter, yaitu rakyat miskin tidak lagi diperlakukan sebagai beban, melainkan sebagai warga yang berhak penuh atas martabat dan kesejahteraan. Apabila gagal, ia hanya akan memperpanjang daftar janji manis pembangunan yang berulang kali diucapkan, tetapi jarang ditepati.*

 *Silahudin, Pemerhati Sosial Politik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengawasan Melekat (Waskat)

silahudin Ada ragam pengawasan dalam penyelenggaraan roda pemerintahan, dan salah satunya adalah pengawasan melekat. Pengawasan melekat disingkat WASKAT merupakan salah satu kegiatan manajemen dalam mewujudkan terlaksananya tugas-tugas umum pemerintah (an) dan pembangunan. Waskat, sesungguhnya merupakan kegiatan manajemen sehari-hari yang dilakukan oleh pipinan atau atasan instandi pemerintah dalam setiap satuan unit kerjanya. Apa itu pengawasan melekat? dapat disimak pada video ini.

Menyelami Makna Peribahasa Sunda "Asa Peunggas Leungeun Katuhu"

   Ilustrasi Jenis Pakaian Adat Sunda (Foto tangkapan layer dari  https://learningsundanese.com/pakaian-adat-sunda-jenis-jenis-dan-makna-simbolik/ ) Menjual Harapan – Pergulatan pergaulan kehidupan taubahnya berdampingan antara baik dan buruk. Ragam situasi buruk perlu dihindari, karena berakibat buruk pada khususnya diri sendiri, bahkan dalam kehidupan masyarakat, dan negara. Menelusuri mencari sumber masalah yang menimbulkan situasi buruk tersebut dan menemukannya, berarti setidakanya setengah telah mengatasi situasi tersebut. Ada dalam peribahasa Sunda yang populer, yaitu “Asa peunggas leungeun katuhu” . Secara harfiah berarti “harapan di ujung tangan kanan”. Pesan filosofisnya peribahasa Sunda ini mengajarkan pentingnya mempunyai harapan dan tekad kuat dalam menghadapi berbagai situasi yang sulit. “Leungeun katuhu” (tangan kanan) disimbolkan atau dilambangkan sebagai kekuatan dan kemampuan untuk mencapai tujuan. Iman Budhi Santoso (2016: 601) menjelaskan makna dari ...

Konsistensi Cendekiawan “Memanusiakan” Peradaban

Ilustrasi gambar seorang cendekiawan (Foto hasil proses chat gpt) MENJUAL HARAPAN - Pergulatan berbagai kehidupan negara bangsa ini (nation state) , tampak nyaris tidak lepas dari sorotan kritisi cendekiawan.  Kaum cendekiawan terus bersuara dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti dalam sosial politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sejenisnya.  Sosok kehadiran cendekiawan di tengah pergulatan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara tak dapat ditampik, niscaya selalu berkontributif.  Kehadirannya memiliki peran dan fungsi yang strategis, oleh karena kehadirannya senantiasa hirau dan peduli terhadap permasalahan-permasalahan bangsa demi menjunjung derajat kemanusiaan. Dalam bahasa lain, seseorang yang merasa berkepentingan untuk memikirkan secara rasional dan sepanjang pengetahuannya tentang bangaimana suatu masyarakat atau kemanusiaan pada umumnya bisa hidup lebih baik.  Oleh karena, setiap bangsa dan negara secara langsung atau tidak langsung memutuhkan peran...