“Kedaulatan digital adalah pilar demokrasi. Tanpa kendali atas data dan infrastruktur, negara kehilangan hak menentukan masa depannya.”
— Luciano Floridi, filsuf teknologi dan etika informasi (https://marinews.mahkamahagung.go.id/artikel/kedaulatan-negara-dan-tantangan-digital-0g5)
MENJUAL HARAPAN - Di era pasca-Westphalia, negara didefinisikan oleh batas teritorial dan kendali atas hukum. Namun di era digital, batas-batas itu menjadi kabur. Negara tak lagi hanya bersaing dengan negara lain, tetapi juga dengan platform global—entitas non-negara yang mengendalikan data, algoritma, dan infrastruktur komunikasi. Facebook, Google, TikTok, dan OpenAI bukan sekadar perusahaan teknologi; mereka adalah aktor geopolitik baru.
“Paradigma konservatif tentang kedaulatan negara memerlukan rekonstruksi konsep dan implementasi baru.”
— Prof. Ahmad M. Ramli, Guru Besar Cyber Law UNPAD (https://www.kompas.com/tren/read/2023/06/08/104753965/kedaulatan-negara-di-ruang-digital)
Kedaulatan digital bukan hanya soal keamanan siber. Ia menyangkut hak negara untuk menentukan arsitektur data, algoritma, dan narasi yang beredar di ruang publik. Ketika algoritma menentukan apa yang dilihat warga, maka negara kehilangan sebagian kendali atas ruang wacana. Ketika data warga disimpan di server asing, maka negara kehilangan kendali atas identitas kolektifnya.
“Negara yang tidak memiliki kendali atas data warganya, tidak sepenuhnya berdaulat.”
— Arief Bakhtiar Darmawan, Universitas Jenderal Soedirman (https://e-journal.unair.ac.id/JHI/article/download/38971/25534/226460)
Contoh paling nyata adalah konflik antara Australia dan raksasa teknologi seperti Facebook dan Google. Ketika pemerintah Australia menuntut agar platform membayar konten berita lokal, mereka menolak dan bahkan memblokir akses berita. Ini bukan sekadar sengketa bisnis, tetapi benturan antara kedaulatan negara dan kekuasaan platform.
“Platform digital telah menjadi aktor geopolitik yang mampu menantang negara.”— Eko Ernada, Universitas Jember (https://www.kompasiana.com/ekoernada1036/68048c67c925c47cfe1545d4/dari-algoritma-ke-kekuasaan-geopolitik-chatgpt-dan-deepseek)
Indonesia sendiri menghadapi tantangan serupa. Dengan lebih dari 300 juta kunjungan ke situs AI dalam setahun, Indonesia menjadi salah satu pengguna AI tertinggi di dunia (https://tekno.kompas.com/read/2025/07/08/09300007/indonesia-termasuk-pengguna-ai-tertinggi-di-dunia--kedaulatan-digital-harus). Akan tetapi, sebagian besar teknologi tersebut berasal dari luar negeri. Tanpa regulasi yang kuat, Indonesia berisiko menjadi pasar terbuka tanpa kendali atas kualitas, keamanan, dan arah teknologi.
“Jika negara tidak memiliki regulasi yang adaptif, maka teknologi akan menjadi alat dominasi, bukan inovasi.”
— Prof. Ahmad M. Ramli, UNPAD
Dalam konteks geopolitik reflektif, esai ini menegaskan bahwa kedaulatan hari ini bukan hanya soal tanah dan udara, tetapi juga tentang data dan algoritma. Negara harus membangun cyber territory, digital ethics, dan infrastruktur lokal agar tidak menjadi objek dalam narasi digital global.*
Komentar