“A handshake is not just a gesture—it is a performance of trust.”
— Fahed Syauqi, peneliti simbolisme diplomatik modern (https://kumparan.com/ogi-cheetah/jabat-tangan-bicara-simbol-dan-nada-dalam-diplomasi-modern-254ZWuHoBQu)
MENJUAL HARAPAN - Dalam dunia diplomasi, tidak semua yang penting diucapkan. Sebagian besar justru ditampilkan—dalam gestur, dalam diam, dalam simbol. Tangan yang terulur dalam jabat erat, senyum yang tertahan, bahkan pilihan warna dasi atau urutan duduk dalam jamuan makan malam—semuanya adalah bagian dari bahasa diplomasi yang tak tertulis, namun sarat makna.
Simbolisme dalam diplomasi bukan sekadar ornamen. Ia adalah substansi yang dibungkus dalam bentuk. Dalam pendekatan konstruktivisme hubungan internasional, simbol-simbol ini membentuk norma, identitas, dan persepsi yang kemudian memengaruhi kebijakan luar negeri (lihat: Substansi diplomasi modern kutipan pakar - Search). Seperti yang ditunjukkan dalam pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, jabat tangan hangat dan musik latar “YMCA” bukan hanya hiburan, tetapi narasi visual tentang keterbukaan dan kemitraan strategis (lihat: Substansi diplomasi modern kutipan pakar - Search).
“Simbol diplomatik adalah bahasa yang digunakan negara untuk menyampaikan pesan tanpa kata-kata. Ia bisa lebih kuat dari pidato.”
— R.P. Barston, dalam Modern Diplomacy (2006)
Namun, simbol hanya bermakna jika ia ditopang oleh substansi. Tangan yang terulur tanpa niat mendengar hanyalah formalitas kosong. Di sinilah diplomasi etis mengambil tempat: ia menuntut agar simbolisme tidak menjadi topeng, tetapi jendela—yang memperlihatkan niat baik, kesetaraan, dan komitmen terhadap martabat bersama.
Dalam konteks ini, diplomasi modern menghadapi tantangan ganda: menjaga performativitas simbolik agar tetap relevan di era visual, sekaligus memastikan bahwa substansi etis tidak dikorbankan demi pencitraan.
Seperti diingatkan oleh Harold Nicolson: “Diplomacy is the management of international relations by negotiation; the method by which these relations are adjusted and managed by ambassadors and envoys.”— Harold Nicolson, Diplomacy (1950).
Artinya, simbol hanyalah pintu. Yang menentukan apakah diplomasi menjadi jembatan atau jebakan adalah niat dan nilai yang menyertainya.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, diplomasi yang berbelas kasih dimulai dari hal-hal kecil: jabat tangan yang tulus, sapaan yang tidak dibuat-buat, dan kehadiran yang tidak hanya fisik, tetapi juga batin. Simbolisme yang demikian bukanlah kosmetik, melainkan komitmen yang diam-diam berbicara.*
Baca juga: Kedaulatan dalam Era Platform, Ketika Negara Bersaing dengan Algoritma
Komentar